Senin, 08 April 2013

Pendekatan Analitis dan Strukturalisme Genetik dalam Puisi "Membaca Tanda-Tanda"

Pendekatan Analitis dan Strukturalisme Genetik dalam Puisi "Membaca Tanda-Tanda"


A. PENGERTIAN

a. Pendekatan Analitis

Pendekatan analitis merupakan salah satu pendekatan di antara sejumlah pendekatan yang telah dikemukakan oleh J. N. Hook. Pengertian pendekatan analitis menurut Aminuddin (2004:163) adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun adanya kesalarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya. Pengertian ini masih bersifat umum karena rumusan pengertian tersebut belum mengacu pada salah satu genre sastra tertentu, apakah itu prosa fiksi ataukah puisi.

Pengertian pendekatan analitis dalam mengapresiasi puisi adalah pendekatan yang secara sistematis objektif berusaha memahami unsur-unsur intrinsik dalam puisi, mengidentifikasi peranan setiap unsur intrinsik dalam puisi serta berusaha memahami bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya (Aminuddin, 2004:164).

Menurut Aminuddin (2004:163), ciri-ciri pendekatan analitis dalam mengapresiasi puisi adalah sebagai berikut.
  1. Dalam pendekatan analitis, penelaah menyikapi puisi sebagai realitas yang memiliki keunikannya sendiri dan berbeda dengan realitas yang terdapat dalam bacaan lain.
  2. Dalam pendekatan analitis, penelaah menyikapi puisi sebagai suatu kesatuan yang dibentuk oleh unsur-unsur intrinsik tertentu. Setiap unsur intrinsik dalam puisi dapat dianalisis secara terpisah meskipun akhirnya harus membuahkan kesimpulan yang mendukung suatu kesatuan.
  3. Berbeda dengan bentuk pendekatan lainnya, pendekatan analitis dalam mengapresiasi puisi adalah suatu pendekatan yang paling bersifat literer karena pendekatan tersebut berusaha menganalisis keseluruhan unsur intrinsik dalam puisi serta berusaha memahami dan menyimpulkannya.
  4. Pendekatan analitis dalam mengapresiasi puisi harus membuahkan kesimpulan yang objektif dan sistematis. Oleh sebab itu, ciri metode kerja dalam pendekatan analitis haruslah bersifat saintifik, dalam arti penelaah harus memiliki landasan teori yang jelas, maupun bersikap objektif serta bekerja secara sistematis.
  5. Hasil penerapan pendekatan analitis harus mampu menggambarkan peranan setiap unsur intrinsik suatu puisi serta mampu menggambarkan bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya dalam rangka membangun suatu kesatuan.

b. Pendekatan Strukturalisme Genetik

Lucien Goldmann adalah orang yang mengembangkan fenomena hubungan antara sastra dengan masyarakat dengan teorinya yang dikenal dengan dengan nama strukturalisme genetik. Dalam hal ini, Goldmann mengemukakan bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Menurut Goldmann dalam Fananie (2000:164), sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya. Karya sastra yang besar oleh Goldmann dianggap sebagai fakta sosial dan subjek transindividual karena merupakan hasil aktivitas yang objeknya merupakan alam semesta dan kelompok manusia.

Strukturalisme genetik adalah hubungan genetik yang merupakan keterikatan antara pandangan dunia penulis dalam sebuah karya dengan pandangan dunia pada ruang dan waktu tertentu (Fananie, 2000:118). Menurut Teeauw dalam Fananie (2000:118), dalam pengertian ini karya sastra dapat dipahami asalnya dan kejadiannya.

Menurut Goldmann dalam Fananie (2000:120), sebuah analisis strukturalisme genetik didasarkan faktor kesejarahan karena tanpa menghubungkan dengan fakta-fakta sejarah pada suatu subjek kolektif dimana karya tersebut diciptakan, tidak seorang pun akan mampu memahami secara komprehensif worldview atau hakikat makna dari karya yang dipelajari.


B. PENDEKATAN ANALITIS DAN STRUKTURALISME GENETIK DALAM PUISI MEMBACA TANDA-TANDA KARYA TAUFIK ISMAIL

Membaca Tanda-tanda

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya
tidak begitu jelas
tapi kita kini mulai merindukannya
Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pergi hari

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
air
mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani api dan batu

Allah
Ampunilah dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya

Karya: Taufik Ismail

Menurut Ismail dalam Santosa (2002:214) karya-karyanya yang dibuat bertolak dari: angan-angan, kenyataan, kepekaan, kepekakan, kekenyangan, kelaparan, nyeri, cinta, ketidakpastian, penindasan, penyesalan, kecongkakan, kekebalan, tekad, ketidakpastian, kelahiran, maut, kefanaan, dan ke-Yang Gaiban” . Dengan demikian, titik tolak keberangkatan Taufik Ismail dalam kepenyairannya adalah realitas hidup manusia. Dari realitas hidup yang bermacam-macam itu kemudian dilakukan pembacaan yang seluas-luasnya, selanjutnya ia berkarya, menulis kisah sajakan yang menghibur dan bermuatan pendidikan, serta pada akhirnya ia menyampaikan kabar itu kepada pembaca atau pendengarnya.

Realitas hidup yang dihadapi penyair yang dikategorikan oleh H. B. Jassin (1968) sebagai “Penyair Angkatan 66” ini adalah dua dunia yang saling beroposisi atau berpasangan. Ada suka dan ada duka, ada angan-angan dan ada kenyataan, ada kelahiran dan ada kematian, ada kecongkakan dan ada pula kesantunan, ada kekacauan dan ada kedamaian, dan sebagainya.
Sebagai seorang muslim, visi dan misi kepenyairan Taufik Ismail dalam segala tindakannya, termasuk dalam hal menciptakan puisi, berkewajiban mengamalkan isi Al-Quran sebagai tuntunan hidupnya. Menurut Santosa (2002:215), tindakan yang dilakukan oleh Taufik Ismail ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran:190-191.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda ke-Maha Esa-an Allah bagi orang-orang yang menggunakan pikiran, yaitu orang-orang yang mengingat Allah waktu berdiri, waktu duduk, dan waktu berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah sia-sia Engkau menciptakan ini semua! Maha Suci Engkau! Lindungilah kami dari siksaan api neraka.’”

Ayat di atas memberikan petunjuk kepada kita bahwa orang yang menggunakan pikirannya wajib menangkap dan meyakini bahwa semua gejala alam yang terbentang di dunia ini-bergeraknya angin, bergantinya siang dan malam, berputarnya bumi mengelilingi matahari, tersebarnya bintang-bintang di langit, daun yang gugur, dan semua makhluk ciptaan Allah-itu merupakan tanda keagungan , kebijaksanaan, keadilan, dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu, orang yang memiliki pikiran tidak akan leka siang maupun malam, waktu kapan saja-baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring-selalu menggunakannya untuk dapat “membaca tanda-tanda” atau fenomena alam agar semua yang diciptakan Allah tidaklah sia-sia. Membaca (iqra’) dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk membaca tanda-tanda gejala alam, jelas merupakan petunjuk Allah kepada kita agar memiliki kearifan menangkap “kalam ikhtibar”, sastra yang tidak tertuliskan atau firman yang tidak terlisankan (Santosa, 2002:215).

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia yang menciptakan dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al ‘Alaq:1-5)


Melalui puisi “Membaca Tanda-tanda” Taufik Ismail ingin mengajak pembaca melakukan kegiatan membaca terhadap gejala-gejala alam yang terjadi di sekitar kita. Kemampuan Taufik Ismail membaca tanda-tanda zaman tersebut sebagai suatu kabar kepada kita agar memperhatikan gejala alam yang semakin lama lepas dari genggaman tangan kita. Ada sesuatu yang hilang, ada sesuatu yang harus kita raih kembali seperti mulanya. Manusia tentu akan merindukan suasana yang alami, yang semurni-murninya, suasana alam sebelum terjamah oleh tangan-tangan teknologi manusia.

Membaca tanda-tanda zaman seperti yang dilakukan oleh Taufik Ismail itu sebagai suatu respon atau tanggapannya terhadap realitas, seperti pengakuannya: “Saya merasa lega karena lewat puisi saya dapat merespon secara estetis berbagai peristiwa dan masalah bangsa terkini, baik itu politik, ekonomi, hukum, keamanan, dan kemasyarakatan (Kakilangit dalam Santosa, 2002:218). Selain itu juga, puisi-puisi karya Taufik Ismail merupakan puisi naratif, puisi berkabar, yang merespon situasi yang terjadi di dalam masyarakat. Dan tidaklah salah bila Taufik Ismail dikategorikan penyair yang berjiwa sosial yang tinggi.

Di dalam puisi “Membaca Tanda-tanda”, banyak gejala alam yang Taufik Ismail ambil sebagai sumber inspirasinya., misalnya dalam bait kedua, ketiga, keempat, sampai dengan bait ketujuh.
…Kita saksikan udara/ abu-abu warnanya/ Kita saksikan air danau/ yang semakin surut jadinya/ Burung-burung kecil/ tak lagi berkicau pagi hari//
Hutan kehilangan ranting/ Ranting kehilangan daun/ Daun kehilangan dahan/ Dahan kehilangan hutan// Kita saksikan zat asam/ didesak asam arang/ dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru// Kita saksikan/ Gunung memompa abu/ Abu membawa batu/ Batu membawa lindu/ Lindu membawa longsor/ Longsor membawa air/ Air membawa banjir/ Banjir membawa air/ air/ mata//…

Taufik Ismail ingin mengajak pembaca untuk memperhatikan, mengamati perubahan alam yang terjadi, merenungi semua yang telah dilakukan yang di dalam puisinya memakai pilihan kata “membaca”: membaca gempa, disapu banjir, dihalau api dan hama, dihujani abu dan batu (bait ketujuh).

Bait pertama sebagai pengantar menuju isi merupakan ungkapan Taufik Ismail yang merasa kehilangan sesuatu, yang dirasakan juga oleh insan manusia yang lain, namun sesuatu itu belum jelas dan masih gamang. Tetapi, pada bait selanjutnya, Taufik Ismail memberikan tanda-tanda yang membuatnya merasa kehilangan dan dilanda kerinduan, tanda-tanda itu diantaranya: udara yang telah berwarna abu-abu (lambang untuk pencemaran udara yang terjadi pada saat ini), air danau yang semakin surut, burung-burung yang tak lagi berkicau (akibat tak ada tempat bagi mereka untuk bersarang, penebangan hutan/ pohon/ perburuan).

Pencemaran udara, penebangan hutan, perburuan liar, dan sebagainya telah membawa dan mengundang berbagai macam bencana, mulai dari gunung berapi, gempa bumi, longsor, dan banjir yang semuanya itu memakan korban jiwa:
Kita saksikan/ Gunung memompa abu/ Abu membawa batu/ Batu membawa lindu/ Lindu membawa longsor/ Longsor membawa air/ Air membawa banjir/ Banjir membawa air/ air/ mata//

Manusia yang lalai akan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi, telah merusak keseimbangan alam sehingga timbullah berbagai bencana alam yang terjadi. Namun semuanya tidak lepas dari kehendak Sang Pencipta dan Yang Maha Memiliki. Dia tengah menguji makhluk-Nya dengan ditimpakannya musibah dan bencana, apakah makhluk itu sabar dan sadar terhadap segala apa yang telah diperbuatnya.

Pada bait ketujuh, kedelapan, dan kesembilan menandakan suatu kesadaran dan rasa ingin kembali, doa, dan pengampunan dosa seorang hamba kepada Sang Khalik.

…Allah/ ampunilah dosa-dosa kami// Beri kami kearifan membaca/ Seribu tanda-tanda//…

Kemudian, dalam bait kesepuluh dan kesebelas berisi tentang pernyataan ulang tentang sesuatu yang dirasa telah hilang dan kini mulai dirindukan, yaitu suasana alami yang semurni-murninya, suasana alam sebelum terjamah oleh tangan-tangan teknologi manusia.

Pilihan kata yang dipakai oleh Taufik Ismail sebagian besar mengandung sindiran dan refleksi terhadap diri pribadi manusia sebagai hamba Allah. Dalam mengungkapkan mulai rusak dan punahnya hutan Taufik Ismail menggunakan kata kehilangan: Hutan kehilangan ranting/ Ranting kehilangan daun/ Daun kehilangan dahan/ Dahan kehilangan hutan//. Begitu juga pengungkapan bencana alam seperti banjir, gempa, longsor, gunung meletus yang ada di bait kelima. Banyak terdapat kata konkret di dalam puisi Taufik Ismail ini, diantaranya udara, air danau, burung kecil, hutan, ranting, daun, dahan, gunung, abu, batu, longsor, banjir, dan sebagainya. Hal yang menarik dari puisi ini adalah kata ganti yang dipakai “kami” dan “kita”. Kata ganti yang dipakai di dalam puisi ini memberikan kesan bahwa Taufik Ismail mengajak pembaca turut merasakan apa yang dirasakannya, turut merenung terhadap apa yang telah kita perbuat terhadap alam lingkungan sekitar, dan memohon ampunan terhadap dosa-dosa yang telah dilakukan.

Tipografi puisi yang digunakan oleh Taufik Ismail merupakan gabungan dari bentuk yang konvensional dan inkonvensional. Bentuk yang inkonvesional terdapat pada bait pertama, kedua, keempat, kesepuluh, dan kesebelas. Bentuknya yang menggantung dengan huruf besar di baris pertamanya yang kemudian pada awal baris berikutnya diawali dengan huruf kecil. Bila kita membacanya seperti kita membaca prosa atau naskah biasa maka akan kita dapat bahwa itu merupakan satu kalimat, namun dalam puisi ini dibentuk sedemikian rupa sehingga ide tidak kelihatan tampak biasa tetapi menjadi luar biasa. Dengan bentuk yang seperti ini juga mempengaruhi nada dan suasana ketika membaca puisi ini. Nada dan suasana yang ada dalam puisi ini sedih, sunyi, penuh resapan hati.

Permainan bunyi juga digunakan Taufik Ismail dalam puisinya ini. Asonansi a mendominasi pada bait pertama. Pada bait pertama juga terdapat rima dalam. Selain pada bait pertama, asonansi a juga terdapat dalam bait keenam. Sedangkan kakofoni ada pada bait ketiga, keempat, dan kelima. Di bait pertama dan keenam terdapat rima dalam, sedangkan untuk rima akhir terdapat pada bait kedua, ketiga, dan kelima. Rima identik juga menghiasi puisi ini, diantaranya pada bait pertama dan kedua, bait kesepuluh dan kesebelas, berikut salah satu kutipannya.
Kita saksikan zat asam
Didesak asam arang


Kita saksikan
Gunung memompa abu
Aliterasi nampak jelas pada bait ketiga yaitu adanya aliterasi /n/ yang menambah suasana gundah, mendukung kakofoni.

Gaya bahasa juga turut berperan serta dalam menciptakan suasan yang sunyi, gundah, dan sendu. Paradoks yang terdapat pada bait kedua baris pertama, kedua, dan ketiga: Ada sesuatu yang mulanya/ tidak begitu jelas/ tapi kini kita mulai merindukannya. Anafora juga menghiasi bait kedua dengan pengulangan kata kita saksikan di awal baris. Di bait ketiga terdapat gaya bahasa mesodiplosis, yaitu adanya pengulangan kata kehilangan yang semuanya terdapat pada tengah baris. Di bait kelima juga terdapat mesodiplosis, yaitu pengulangan kata membawa. Anafora pada bait kedua dengan pengulangan kata kita saksikan di awal baris namun masih dalam satu bait, juga pada bait ketujuh. Gaya bahasa polisidenton di bait keempat dengan penggunaan kata yang sama maknanya yaitu kata asam arang dan karbon dioksid. Gaya bahasa satire terdapat pada bait keenam: Bisakah kita membaca tanda-tanda? Gaya bahasa klimaks dipergunakan pada bait kelima yang menyatakan suatu kejadian yang memuncak dari berbagai bencana yang terjadi yaitu mendatangkan tangis, jeritan, yang bisa saja mewakili keadaan yang sangat sedih atau kematian.

Citraan yang banyak digunakan oleh Taufik Ismail dalam puisi ini adalah citra perasaan dan penglihatan. Citra perasaan bisa dilihat di bait pertama dan kesepuluh, dimana bisa diidentifikasikan melalui kata “yang rasanya”. Sedangkan untuk citra penglihatan ada pada bait kedua, keempat, dan kelima yang menggunakan kata “saksikan”.
Pemakaian majas sangat minim sekali. Majas yang digunakan oleh Taufik Ismail adalah majas personifikasi dalam bait kelima.

Dari semua unsur-unsur intrinsik itu mendukung ide atau gagasan yang ingin diungkapkan oleh Taufik Ismail. Semuanya membentuk satu kesatuan yang membuat suasana dalam puisi mengajak pembaca untuk turut serta merasakan apa yang dirasakan oleh sang penyair. Suasana yang sendu dan sunyi karena seorang hamba memohon ampun kepada Sang Khalik atas dosa-dosanya (berdoa), gundah karena merasa kehilangan sesuatu dan merindukannya, sedih karena alam yang mulai tidak bersahabat kepada manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar