Sabtu, 30 Maret 2013

CERPEN SENO GUMIRA AJIDARMA

Selamat Malam, Duhai Kekasih

                                                                                         CERPEN SENO GUMIRA AJIDARMA
DARI jauh Sukab sudah mendengar lagu dangdut itu.
selamat malam
duhai kekasih
sebutlah namaku
menjelang tidurmu
Langkah menjadi ringan, seringan hatinya sejak sore sudah melayang-layang. Tumirah, ya Tumirah, wanita itu sudah berjanji akan menunggunya di malam Tahun Baru. Sudah berjanji akan berjoget di lapangan terbuka, lapangan sepak bola di kampungnya yang kini menjadi arena pesta. Tumirah, Tumirah, telah dibayangkannya wanita bertubuh sintal itu, dengan kain dan kebaya merah, dengan rambut terurai sampai ke bahu, dengan sendal jepit merek Swallow, bergoyang dan bergoyang di arena jojing yang becek tapi membakar.
“Tumirah, apakah kamu akan datang ke lapangan pada malam Tahun Baru?”
“Aku tak tahu Sukab, aku tak bisa pastikan sekarang.”
“Datanglah Tumirah, aku ingin bersamamu, apakah kamu tidak ingin melewatkan Tahun Baru bersamaku?”
“Tentu saja aku ingin bersamamu Sukab, aku selalu ingin bersamamu. Akan kuusahakan untuk berjoget denganmu.”
“Bagaimana aku tahu kamu akan datang atau tidak?”
“Tunggulah aku, aku akan pager kamu.”
“Jangan lupa Tumirah, aku menunggu.”
“Aku tahu Sukab, aku tahu.”
Rembulan pucat tertutup awan. Namun lampu dari segala macam tukang jualan telah membuat lapangan jadi semarak. Sukab melangkah setengah berlari sambil membawa bunga. Setangkai bunga merah yang terlindungi plastik. Sebagai pesuruh di toko bunga, Sukab tahu jenis bunga apa yang biasanya dibeli orang sebagai pernyataan cinta. Bahkan ia sering mengantarkan bunga semacam itu ke mana-mana dengan sepeda motornya. Pemilik toko bunga itu melengkapi Sukab dengan sebuah pager, supaya Sukab bisa menerima tugas dalam perjalanan.
Kini Sukab membawa sekuntum bunga berwarna merah yang diambilnya dari toko. Akan kupersembahkan bunga ini sebagai kejutan, pikirnya, Tumirah tentu akan senang menerimanya. Membahagiakan Tumirah adalah segala-galanya bagi Sukab. Ia pernah menulis surat kepada Tumirah: Aku tidak peduli Tumirah, apakah engkau punya suami, apakah engkau punya pacar, aku akan mencintaimu selalu, meskipun sesudah aku mati. Begitulah bunga itu dibawanya setengah berlari. Ia sebenarnya tak berharap Tumirah sudah berada di sana pada jam seperti ini. Namun, pikirnya, siapa tahu Tumirah sudah ada di sana, siapa tahu – seperti segala hal tak terduga yang pernah dialaminya bersama Tumirah.
bawalah aku
dalam mimpi yang indah
di malam yang dingin
sesunyi ini
Sebetulnya lapangan itu memang masih jauh, tapi dalam acara orkes dangdut, pengeras suara selalu di-geber sampai ke langit. Sukab sangat menyukai lagu dangdut. Ia suka mencatat syairnya, dan menghafalkannya, semua itu membuat ia merasa hidup. Itulah yang disukai Tumirah dalam diri Sukab, karena Tumirah juga menyukai lagu dangdut. Tapi Tumirah menyukai dangdut bukan hanya karena syairnya, Tumirah menyukai hentakan-hentakan dangdut karena semua itu mampu membuat dirinya bergoyang.
Tumirah adalah seorang primadona di arena dangdut. Kalau ia bergoyang, ia tidak hanya ber-jojing, ia menari untuk ditonton. Karena itu sebenarnya ia tidak memerlukan pasangan. Setiap gerakannya penuh dengan pesona. Bahwa kemudian di arena jojing terbentuk lingkaran yang memberi ruang Tumirah bergaya, itu adalah soal biasa. Bahkan sang penyanyi dangdut suka kheki karena Tumirah kelewat mencuri perhatian.
“Lihat Tumirah itu, ia mulai lagi.”
“Heran, ia senang sekali menari.”
“Baguslah orang senang menari.”
“Ketimbang senang korupsi.”
“Hahahaha!”
“Tumirah itu, ke mana suaminya?”
“Entahlah, mereka tidak pernah bersama.”
***
SUKAB melihat Tumirah untuk pertama kalinya ketika sedang menari. Tumirah selalu mengenakan kain dan kebaya merah, dengan rambut terurai dan sandal jepit yang juga merah. Bayangan Tumirah telah membuatnya gelisah sepanjang malam, sehingga ketika sampai di rumah pun istrinya tahu pikiran Sukab melayang entah ke mana.
“Siapakah Tumirah?”
“Entahlah. Siapa dia?”
“Semua orang melihatnya menari di lapangan, masak kamu tidak tahu?”
“Jadi yang menari itu namanya Tumirah?”
“Iya, wanita yang sudah bersuami tapi selalu pergi sendiri.”
“Kenapa memang kalau pergi sendiri?”
“Sukab, semua orang bilang kamu berjoget dengan dia!”
“Hah?”
“Hah-huh-hah-huh! Dasar gombal kamu! Hati-hatilah, semua orang bilang dia wanita yang meninggalkan suaminya, dan kini jadi simpanan centeng pasar.”
“Oh, begitu?”
“Ya, begitu.”
“Tapi aku tidak peduli.”
“Memang kamu tidak harus peduli. Kamu harus peduli kepadaku, istrimu yang setia.”
“Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu.”
“Sudah! Diamlah! Aku sudah tahu isi perutmu.”
Waktu berlalu seperti mimpi. Lagu itu seperti terdengar sepanjang tahun.
selamat malam
duhai kekasih
kan kusebut namamu
menjelang tidurku

***
SUKAB beredar di antara martabak, tukang sekoteng, tukang balon, tukang bakso, dan tukang es. Bau minyak wangi murahan menusuk hidung, perempuan berpupur putih bertebaran di mana-mana, dengan busana yang dalam pandangan Sukab seperti tidak pernah pas. Habis semuanya baju obral sih, pikir Sukab, benangnya saja ngelewer kian ke mari. Tapi ia tidak bisa berpikir panjang soal baju, pikirannya hanya terpatok pada Tumirah. Di mana dia sekarang? Berkali-kali ia menengok pager-nya meski tidak berbunyi. Namun tiada pesan apa-apa dari Tumirah.
Ia masih membawa-bawa bunga itu di tangannya. Tubuhnya terus melindungi bunga itu dari desakan orang-orang yang memenuhi lapangan, seolah-olah ia sedang melindungi Tumirah sendiri, sampai ia tiba di tepi panggung. Malam masih muda, namun orang-orang sudah bergoyang dengan penuh perasaan. Betapa dasyatnya dangdut itu merasuki jiwa mereka. Dangdut itu bagaikan telah menjelma suatu aliran di mana mereka bisa membebaskan jiwa mereka berenang-renang di sana. Lihatlah wajahnya. Lihatlah matanya. Orang-orang yang larut dalam buaian, bergoyang dan bergoyang. Bagaikan tiada lagi yang lebih indah selain dangdut. Bagaikan tiada lagi yang lebih membahagiakan selain dang-dut-dutdutdut.
“Sukab, ayo turun!”
“Nanti!”
Rembulan yang pucat bagai ikut bergoyang. Penyanyi dangdut itu, dengan baju panggung terbuka dan belahan di dada maupun di paha yang mendebarkan, seperti menari di atas awan. Ia seperti menyanyi di atas sebuah perahu, dan perahu itu mengembara di langit yang kelam. Sesekali panggung itu penuh dengan asap, lampu berpijar-pijar, dan penyanyi itu berputar-putar. Orkes menghentak menggugah kebinalan. Sukab sudah kebelet bergoyang, tapi malam itu ia hanya akan mempersembahkan dirinya untuk Tumirah.
Ditatapnya bunga yang dibawanya. Ia tahu dirinya sudah terlanjur mencintai Tumirah. Sesuatu yang telah diketahuinya hanya akan membawa malapetaka.
“Jangan terlalu sering bermimpi Sukab, belajarlah berbahagia dengan apa yang kamu miliki saja. Cinta adalah soal yang bisa menjadi pelik, tapi ia juga bisa menjadi begitu sederhana, kalau kamu bisa belajar hidup dengan apa adanya.”
Siapakah yang mengatakan itu kepadanya? Sukab sudah lupa. Dalam kehidupannya sebagai pengantar bunga, sudah begitu banyak pembantu rumah tangga ditemuinya di pintu pagar.
“Ini bunga untuk siapa?”
“Itu ada tulisannya.”
“Maaf, saya tidak bisa membaca.”
“Jadi, kamu juga tidak bisa membaca tulisan ini : dengan cinta?”
“Maaf, saya tidak bisa membaca, tapi saya tahu bahasa bunga.”
“Kalau begitu, ini ada bunga lain untuk kamu.”
“Dari siapa?”
“Dari hati saya.”
“Oh, di situnya punya hati toh?”
“Lha iya, masak cuma punya pager doang?”
“Baik betul kamu.”
“Ah, itu biasa, dengan semua orang saya begitu.”
“O ya? Kalau begitu saya tidak istimewa dong?”
“Semuanya istimewa, semuanya luar biasa.”
Begitulah kehidupan Sukab, dari pagar ke pagar. Kadang ia cuma berdiri di luarnya. Kadang melompatinya. Sukab memang tidak pernah berterus terang, bahwa Tumirah baginya adalah segala-galanya. Sampai pada suatu malam, malam Tahun Baru, di mana segala-galanya telah menjadi lain.
Seperti masih terngiang lagu yang satu itu.
gelisah hatiku
karena kau jauh dariku
tak lelap tidurku
karena terbalut rindu
Sudah puluhan kali pager diperiksanya meski tidak berbunyi sama sekali. Tiada pesan secuil pun dari Tumirah.
adakah rindu
di dalam hatimu
seperti diriku
merindukanmu
Malam Tahun Baru akhirnya lewat. Terompet kertas telah lama ditiup dan kini berserakan di tanah yang becek. Malam masih sama seperti beribu-ribu malam yang lain. Sunyi dan kelam, bulan yang pucat menggantung di awan.
Lapangan sudah kosong sekarang. Malam merayap menuju hari pertama di tahun yang baru. Tapi apalah yang sebenarnya baru? Apalagi yang masih bisa baru di bumi yang tua ini? Memang begitu banyak perubahan, namun semua itu tidak mengubah apa-apa bukan? Masih juga kekecewaan dan kepahitan yang lama. Sukab masih memegang bunga itu, duduk sendirian di panggung yang kosong. Kakinya bergelantungan bergoyang-goyang. Matanya hampa menatap jejak-jejak di tanah becek bekas orang berjoget.
Jari tangannya sudah pegal memegang bunga itu, yang tampaknya kini sudah tidak bisa menyampaikan apa-apa lagi. Tidak bahasa bunga, tidak juga bahasa cinta. Untuk beberapa lama ia masih berharap Tumirah akan muncul dari balik kegelapan, dengan kain dan kebayanya yang memang selalu merah, dengan rambutnya yang terurai liat melambai-lambai ditiup angin malam. Ia masih berharap Tumirah akan muncul dan berkata, “Maaf, aku terlambat.” Namun tiada seorang pun muncul dari kegelapan yang mana pun.
***
HARI menjelang fajar. Sukab melangkah pulang sambil berdendang sendiri.
selamat malam
duhai kekasih *)
Di depan rumah, ia melihat istrinya, yang sudah menyiapkan warungnya seperti setiap dini hari yang lain. Istrinya merokok, seperti biasa selalu mengenakan kain dan kebaya hijau, dengan rambut digelung, dengan kaki tidak bersandal. Istrinya selalu bercakar ayam. Dalam cahaya lampu petromaks, Sukab melihat istrinya seperti seorang wanita lain.
“Kamu ketemu Tumirah kan?”
“Tidak, aku mengantar bunga.”
“Untuk siapa?”
“Untuk kamu.”
Ia memberikan setangkai bunga merah terlindungi plastik yang sejak tadi dibawanya. Istrinya meletakkan bunga itu di sebuah botol kosong.
“Sudah lama kamu bekerja sebagai pengantar bunga,” kata istrinya, “tapi baru sekarang kamu memberi bunga untuk istrimu.”
Sukab hanya tersenyum masam. Ia mengganti pakaian dengan sarung, dan langsung tertidur di atas amben. Sampai detik itu ia belum sadar sama sekali, betapa beruntungnya seorang lelaki ketika mendapatkan istri yang setia.
Taman Manggu, Minggu 12 Januari 1997
*) Syair lagu dalam cerpen ini diambil dari lagu Selamat Malam, ciptaan Evie Tamala, yang juga menyanyikannya sendiri.

CERPEN Seno GA

S A R M A N

                     
Ceritakanlah padaku tentang kejenuhan,” kata Alina pada juru cerita itu. Maka Juru cerita itu pun bercerita tentang Sarman:
Pada suatu hari yang cerah, pada suatu hari gajian, Sarman membuat kejutan. Setelah menerima amplop berisi uang gaji dan beberapa tunjangan tambahan, dan setelah menorehkan paraf, sarman termenung-menung. Tak lama.
Ia segera berteriak dengan suara keras.
”Jadi, untuk ini aku bekerja setiap hari, ya? Untuk setumpuk kertas sialan ini, ya?!”
Ia berdiri dengan wajah tegang. Tangan kirinya mengenggam amplop, tangan kanannya menuding-nuding amplop itu, dan matanya menatap amplop itu dengan penuh rasa benci.
”Kamu memang bangsat! Kamu memang sialan! Kamu brengsek! Kamu persetan! Memble! Aku tidak sudi kamu perbudak! Aku menolak Kamu!”
Kantor yang sehari-harinya sibuk, sejuk, saling tak peduli, dengan musik yang lembut itu, pun mendadak jadi gempar.
”Lho ada apa Man? Kok pagi-pagi sudah nyap-nyap?”
”Eh, Sarman kenapa dia?”
”Jangan-jangan ia belum makan.”
”Kesurupan barangkali.”
”Man! Sarman! Sabar man! Nanti kamu dimarahi!”
Tapi Sarman tidak hanya berhenti disini. Ia melompat ke atas meja. Ia robek amplop cokelat itu. Ia keluarkan uang dari dalamnya. Ia robek bundel uangnya. Dan sebagian uangnya ia lemparkan ke udara.
”Nih! Makan itu duit! Mulai hari ini aku tidak perlu di gaji! Dengar tidak kalian!? Tidak perlu digaji! Aku akan bekerja suka rela, tetap rajin seperti biasa! Dengar tidak kalian monyet-monyet?!”
Berpuluh-puluh uang lembar Rp 10.000,- berguling-guling di udara dihembus angin AC. Kantor itu seperti dikocok-kocok. Para pegawai tanpa malu-malu berebutan uang gaji Sarman. Pria maupun wanita saling berdesak, bersikutan, dorong mendorong, berlompatan meraih rejeki yang melayang-layang diudara. Mereka cepat sekali memasukkan uang itu sekenanya dalam kantong bajunya. Lantas pura-pura tidak tahu.
Sarman menendang semua benda yang berserakan di mejanya, map-map yang bertumpuk, mesin tik, segelas the, bahkan foto keluarganya ia tending melayang. Layer monitor computer pun pecah digasaknya
“Sarman! Kamu gila!”
Sarman melompat dari meja ke meja denganr ingan seperti pendekar dalam cerita silat. Ia tendang semua barang-barang di atas meja karyawan-karyawan lain, sambil terus memaki-maki. Tak jelasa benar apa yang dimaki.
Dalam waktu singkat, kator yang terletak di tingkat 17 itu pun berantakan. Sekretaris-sekretaris wanita menjerit: ”Aaaa!” Dan para karyawan pria memperlihatkan jiwa pengecut mereka, tidak berani berbuat apa-apa. Meski dalam hati mengharap Sarman melempar-lempar lagi sisa uang yang dipegangnya. Dan Sarman bukannya tak tahu.
”Kalian mau uang? Ha? Kamu mau uang? Sukab! Kamu mau uang? Nih! Kamu mau uang? Nih! Kalian semua mau uang? Nih! Nih! Nih! Makan!”
Sambil masih melompat dari meja ke meja, Sarman, melempar-lemparkan uang ditangannya. Para karyawan berubah jadi serangga yang mengikuti kemanapun Sarman pergi. Suasana kantor sungguh menjadi  hingar bingar. Wajah karyawan-karyawan itu seperti kucing kelaparan. Mereka berebutan dengan rakus. Yang sudah melompat, jatuh terdorong. Yang menubruk uang dilantai, diseret kakinya. Tidak sedikit uang robek dalam pergulatan. Tarik menarik, cakar-mencakar, tendang-menendang, tanpa pandang bulu.
”He, kalian masih mau uang lagi?” tanya Sarman sambil berdiri di atas meja kepala bagian. Mereka serentak menjawab.
”Mauuu!”
Sarman tersenyum. Keringat menetes didahinya. Ia longarkan dasi yang mencekiknya.
”Baik! Tapi kalian harus berteriak Hidup Uang! Hidup Uang! Setuju?”
”Setujuuuuu!”
Maka, seperti pemain softball melempar bola, Sarman pun segera melemparkan lagi segepok uang ditangannya. Uang itu berhamburan diudara, menari-nari bagaikan salju khayalan di hari Natal pada panggung sandiwara. Mata para karyawan dan karyawati berbinar-binar dengan riang, mulut mereka menganga, wajah mereka menujukkan semangat tekad bulat yang sangat mengharukan.
”Serbuuuu!” teriak mereka bersamaan. Pertarungan pun dimulai kembali. Kini mereka berebutan bagai pemain disuah pesta. Mereka tertawa terkikik-kikik. Saking asyiknya, mereka lupa bahwa banyak kancing baju mereka yang lepas, sepatu copot, rok tersingkap, dan rambut terburai-burai. Sarman berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Ia melompat dari meja ke meja sambil bersalto. Ruangan riuh dengan yel, meskipun tidak terlalu serempak, karena mereka berteriak sambil berebutan uang di udara dan dikolong-kolong meja: Hidup Uang! Hidup Uang!
Mendadak muncul Kepala Bagian. Ia diam saja di pintu, menatap bawahan-bawahannya berpesta pora. Wajahnya disetel supaya berwibawa. Lantas ia melangkah seperti tak terjadi apa-apa, menuju ke mejanya.
Mula-mula para pegawai itu tidak tahu, mereka masih berebut sambil tertawa-tawa. Namun yang tahu segera terdiam, dan kembali ke mejanya, pura-pura bekerja. Padahal mejanya sudah berantakan dikacaukan sarman.
Lambat laun semuanya tahu kehadiran kepala bagian. Mereka mundur dengan tersipu-sipu. Tangan mereka kedua-duanya menggenggam uang. Sisa uang bertebaran di lantai, di kursi, di meja, di bak sampah, bercampur tumpahan kopi dan gelas yang pecah. Kertas-kertas terserak-serak, morat-marit, kacau-balau, kata peribahasa seperti kapal pecah.
Sarman masih berdiri di salah satu meja. Rambutnya kacau, wajahnya buas seperti binatang tersudut, pakaianya yang biasa rapi, dan sepatunya yang berkilat-kilat, kini kumal. Kepala bagian hampir tak mengenali Sarman, karyawan paling rajin dan kedudukannya menanjak dengan cepat.
”Coba, tolong jelaskan apa artinya semua ini,” ujarnya kemudian, dengan sabar, tapi tetap tegas.
Semua terdiam. Tapi mata mereka semua tertuju kearah Sarman, yang masih terengah-engah, menjulang diatas meja. Dalam sunyi, musik yang lembut terdengar lagi, namun tak membuat suasana menjadi dingin.
Pandangan kepala bagian akhirnya pun tertuju pada Sarman.
”Sarman apakah kamu bisa turun dari atas meja itu?” Tanyanya.
”Bisa pak, tapi saya tidak mau.”
”Kenapa?”
”Jawabnya panjang sekali Pak, tidak perlu saya jelaskan.”
”Kenapa tidak? Kita bisa membicarakanya diruangan lain dan …”
”Tidak Pak! Jangan coba-coba merayu!” tukas Sarman, ”Hari ini saya menolak gaji, menolak bekerja, menolak menuruti Bapak. Pokoknya menolak apa saja yang seharusnya terjadi! Saya tidak suka keadaan ini! Saya benci!”
Kepala Bagian mendekat, dengan wajah kebapakkan ia mencoba menenangkan pegawai kesayangannya itu.
”Apakah kamu mau cuti Sarman? Kamu boleh ambil cuti besar, cutilah satu bulan. Kamu sudah bekerja sepuluh tahun.”
Tapi Sarman malah menjejak meja, menendang sisa tumpukan kertas di meja itu, lantas melompat lagi ke meja lain. Seorang wanita yang duduk disitu terpaku dengan ketakutan, tidak berani bergerak.
”Jangan mendekat! Saya sudah coba jelaskan mulai hari ini saya menolak apa saja! Mengerti tidak? Saya menolak apapun kemauan kalian!”
Kepala bagian itu sebetunya ingin marah, dan mengusir Sarman, tapi Sarman terlalu penting untuk perusahaan. Lagi pula alangkah tak layak memecat seorang pegawai yang sangat berjasa seperti Sarman. Sementara itu berdatanganlah para karyawan dari bagian lain. Kejadian itu begitu cepat tersebar. Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan. Mereka akan bertindak, tapi Kepala Bagian menahan.
”Tunggu! Biar saya yang mengatasinya! Saya kenal dia, saya kenal dia, Sarman anak buah saya selama bertahun-tahun.”
Maka petugas-petugas keamanan pun hanya sibuk dengan HT mereka. Telepon berdering disalah satu meja, memecahkan keheningan, tapi Sarman keburu melompat kesana dan menendangnya. Ia masih menggenggam sebundel uang. Gajinya memang termasuk tinggi di kantor itu. Maklumlah ia sudah bekerja disana selama sepuluh tahun.
”Untuk apa kamu lakukan semua ini Sarman? Untuk apa?” tanya Kepala Bagian.
”Itu sama sekali tidak penting!”
”Lantas kamu mau apa, aku sudah menawarkan cuti besar, langsung mulai hari ini, tunjangannya bisa kamu ambil hari ini juga. Kamu juga boleh pakai hotel milik perusahaan kita di Bali, pakai Vila kantor kita di Puncak, pergilah dengan tenang biar kami selesaikan pekerjaanmu. Terus terang, selama ini kami memang terlalu…”
”Apa? Cuti? Cuti kata Bapak tadi?” Ujar Sarman sambil meletakkan tangan ditelinga, ”Cuti besar setelah sepuluh tahun bekerja. Cuti? Ha-ha-ha-ha! Cuti? Hua-ha-ha-ha! Cuti besar lantas masuk lagi, dan bekerja sepuluh tahun lagi? Huaha-ha-ha! Hua-ha-ha-ha! Ambillah cutimu Pak!”
Dan Sarman dengan lompatan karate menerjang jendela. Jendela tebal di tingkat 17 itu tidak langsung pecah. Sarman meninjunya beberapa kali sampai tangannya berdarah, lantas ia mengambil kursi, mengahantamkannya ke jendela, barulah jendela itu pecah. Angin yang dahsyat menyerbu masuk kantor. Kertas-kertas berterbangan. Sarman melompat ke jendela. Siap melompat kebawah. Orang-orang gempar dan menjerit-jerit.
”Sarman! Jangan bunuh diri Sarman!”
”Jangan akhiri hidupmu dengan sia-sia Sarman! Iangat anak istrimu! Ingat orang tuamu dikampung! Ingat Sahabat-sahabat kamu!”
”Sarman! Pakai oatakmu! Gunakan Akal sehatmu! Hidup ini cukup berharga! Hidup ini tidak sia-sia!”
Sarman yang sudah menhadap kejalan raya berbalik, sambil menendang sisa kaca di kusen jendela, ia berteriak dengan marah.
”Bangsat kalian semua! Bangsat! Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap pagi dan berangkat dengan tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh tahun aku berangkat pagi hari dan pulang sore hari melalui jurusan yang sama. Sudah sepuluh tahun aku memasukkan kartu absen di mesin keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku melakukan pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun! Dan akan berpuluh-puluh tahun lagi! Memang aku dibayar untuk itu dan bayaran itu tidaklah terlalu kecil! Ini bukan salah kalian! Ini juga bukan salah perusahaan! Ini semua hanya omong kosong! Mengerti tidak kalian monyet-monyet? Ini semua Cuma omong kosong!”
”Sarman sudah gila,” bisik seseorang.
”Kenap sih dia bisa begitu?” desis yang lain.
”Semua ini Cuma lewat dan berlalu seperti debu!”
Sarman masih terus nerocos,
”Apa kalian masih ingat angka-angka yang kalian tuliskan kemarin? Apa kalian masih ingat kalimat-kalimat yang kalian tulis kemarin? Apakah kalian masih ingat nama-nama pada daftar relasi kita kemarin? Apa kalian masih ingat nomer-nomer mobil kantor kita yang baru? Apa kalian masih ingat nama-nama pegawai baru kita? Apa kalian masih ingat nama kawan-kawan kita yang sudah keluar dari perusahaan ini? Apa kalian masih ingat nama gombal-gombal yang selalu kita beri komisi? Begitu banyak, begitu dekat, tapi alangkah tidak berarti. Kita semua memang gombal! Aku jug acuma gombal! Jadi, sudahlah, jangan repot-repot! Besok kalian akan lupakan kejadian ini! Lenyap hilang seperti debu! Seperti gombal di pojok gudang! Seperti oli di lantai bengkel! Seperti sekrup…. ”
Sementara Sarman masih terus berpidato, para petugas keamanan tidak kehilangan akal. Mereka memanggil petugas pemadam kebakaran, tapi kedatangannya menimbulkan geger.
”Mana yang kebakaran Pak?”
”Bukan kebakaran!”
”Ada apa?”
”Ada orang mau bunuh diri!”
”Di mana?”
”Tuh!”
Syahdan diketinggian tingkat 17, tampaklah jendela yang terbuka itu menganga. Sarman tampak kecil, tapi jelas, menghadap kedalam sedang berteriak-teriak. Orang-orang yang sedang berada dibawah berhenti, menatap kesana. Mobil-mobil juga berhenti. Jalanan macet. Dengan mendadak, Sarman jadi tontonan. Beberapa orang menggunakan teropong. Bahkan ada yang memotret dengan lensa Tele. Petugas pemadam kebakaran membentangkan jala. Tangga mobil pemadam kebakaran, yang Cuma 40,9 meter, diulurkan. Semprotan air disiapkan, untuk menaha laju kejatuhan tubuh Sarman, kalau jadi melompat. Jalanan macet total. Helikopter polisi merang-raung diudara. Para penonton duduk di atap mobil. Beberapa orang bertaruh dengan jumlah lumayan, Sarman jadi bunuh diri atau tidak. Namun kru televisi terlambat datang.
Jalan lain untuk mencegah Sarman juga diambil. Di Helikopter polisi itu terdapatlah keluarga Sarman, istri Sarman dan anaknya yang bungsu.
”Sarman, lihat itu anak istrimu!” teriak para karyawan dalam gedung.
”Ya, itu anak istrimu! Ingatlah mereka Sarman! Jangan berbuat nekad!”
”Sarman! Sarman! Aku istrimu Sarman! Aku mencintai kamu! Anak-anak juga mencintai kamu! Jangan melompat Sarman!” teriak istrinya sambil menangis, Suaranya menggema lewat penegeras suara di celah raungan helikopter.
”Bapak! Bapak!” seru anaknya.
Sarman berbalik. Dilihatnya wanita itu melambai dengan air mata tumpah ruah. Hatinya tercekat. Ia ingin melambai kembali. Seperti dilakukannya setiap pagi ketika berangkat kantor. Namun ini mengingatkannya pada segepok uang yang masih digenggamnya. Sarman kumat lagi. Tapi dari dalam kantor, dua petugas kemanan merayap perlahan ke jendela.
”Ingat anak-anak kita Sarman! Mereka mebutuhkan kamu! Ingat ibumu, ia mau datang minggu ini dari kampung! Sarman, o Sarman, jangan tinggalkan aku Sarman!” teriak istrinya lagi.
”Apa? Pulang untuk ketemu kamu?! Ketemu dengan segenap tetek-bengekmu?! Pulang utnuk menemui segenap omong kosongmu?! Kamu tidak pernah mau tahu perasaanku! Kamu Cuma tahu kewajiban-kewajibanku! Kamu Cuma tahu ini!”
Sarman mengacungkan uang ditangannya,
”Kamu Cuma tahu ini kan?!”
”Bukan begitu Sarman, aku tidak bermaksud begitu, kamu salah sangka Sarman, aku …”
”Ini uang kamu! Makan!”
Dan Sarman melempar ratusan ribu rupiah ke udara. Uang ditangannya sudah habis. Lembaran-lembaran uang itu berteberan ditiup angin, berguling-guling dan berkilauan dalam siraman cahaya matahari.
”Sarman, o Sarman…” Istrinya menangis tersedu-sedu. Anaknya hanya bisa berteriak,
”Bapak! Bapak!”
Angin masih bertiup kencang diketinggian itu. Sarman melihat uang gajinya berguling-guling melayang kebawah. Kertas-kertas itu belum sampai tanah. Masih melayang-layang menyebar. Orang-orang dikantor yang ada ditingkat bawah dari kantor Sarman terkejut melihat uang berterbangan di udara. Dibawah anak-anak maupun orang dewasa bersiap-siap menangkap uang itu. Suasana sangat meriah. Sarman termenung. Sekilas terlintas untuk megakhiri sandiwara ini.
Saat itulah kedua petugas keamanan yang merayap, tiba di jendela. Salah seorang meyergap, berusaha merangkul Sarman, namun gerakkan yang abru pertama kali ia lakukan dalam hidupnya itu kurang sempurna. Sarman malah jadinay terpeleset, ketika membuat gerakan refleks menghindar. Petugas itu hanay mencengkeram sepatu sarman.
Orang-orang dibawah berteriak histeris. Oarang-orang dalam gedung berebutan melongok dari jendela.tubuh sarman meluncur. Dalam jarak yang cukup jauh Sarman sempat berpikir, sandiwaranya kini menjadi kenyataan. Dengan gerak mirip tarian, tubuh Sarman menembus sebaran uang kertas yang belum juga sampai kebumi. Di bawah, pemadam kebakaran telah membentangkan jala penyelamat lebar-lebar. Empat selang memancarkan air dengan keras ke atas.
”Apakah Sarman akhirnya bisa diselamatkan?” desak Alina yang sudah tidak sabar.
”Oh, itu sama sekali tidak penting Alina,” jawab si juru cerita, ”Itu sama sekali tidak penting.”

Telepon dari Aceh - Seno Gumira Ajidarma

Telepon dari Aceh  

                               Seno Gumira Ajidarma


SEORANG koruptor zaman Orde Baru yang luput dari pengawasan Indonesian Corruption Watch duduk menghadapi meja makan. Di sana ia mengumpulkan istri dan anak-anaknya, dan sambil makan mulai bicara.
“Bapak sungguh-sungguh bersyukur, sampai hari ini Bapak masih selamat. Barangkali memang tidak mungkin menyapu seluruh koruptor yang ada di Indonesia. Koruptor nomor satu atau nomor dua memang tinggal ditunjuk, karena kekayaannya yang tidak bisa disembunyikan, meski juga tidak bisa dijadikan bukti, tetapi bagaimana dengan koruptor nomor dua ratus atau tiga ratus? Sedang Bapak saja, yang bisa korupsi sekitar Rp 200 milyar, ranking-nya cuma nomor 11.217. Pasti susah ‘kan, mencabut yang nomor 11.217 dari ratusan ribu koruptor? Jadi, barangkali untuk sementara kalian bisa tenang. Masih banyak koruptor kelas kakap yang hasil korupsinya tidak masuk akal, karena memang tidak terhitung. Bapak ini masih kelas teri. Cuma Rp 200 milyar. Masih bisa dihitung. Tenang sajalah. Lagipula Bapak ‘kan korupsi untuk kebaikan kalian semua. Supaya kalian anak-anak bisa sekolah di luar negeri, bisa punya rumah mewah, mobilnya tidak cuma satu, dan punya tabungan yang bunganya cukup untuk hidup sambil ongkang-ongkang kaki. Ya nggak? Bapak ini jelek-jelek tidak korupsi untuk diri sendiri, tetapi untuk keluarga. Demi kehormatan, kebesaran, dan keselamatan keluarga. Makanya kalian semua sekolah yang bener. Selesaikan pendidikan dengan sekolah di luar negeri, mumpung masyarakat Indonesia masih silau dengan gelar-gelar dari luar negeri. Perkara ijazahnya bisa beli, ya beli sajalah, untuk apa capai-capai berpikir? Lebih baik kalian pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kekayaan hasil korupsi Bapak. Pikirkan bagaimana caranya memutihkan tabungan, bagaimana caranya menghindar kalau disidik, dan cari orang-orang yang bersedia melindungi kita. Bayar saja sedikit. Kasih perempuan. Lantas diperas. Mereka tidak mungkin bicara. Uanglah yang akan bicara. Bagi rata kekayaan antara kita semua. Jangan rebutan. Itu sumber perkara. Hati-hati dengan kekuasaan. Jangan silau dengan politik. Itu hanya akan membuat kamu jadi singa. Biasanya singa akan mati diterkam singa lain. Lebih baik kamu jadi tikus seperti Bapak. Tidak usah hebat-hebat punya nama besar, pokoknya korupsi jalan terus. Kalau kalian punya jabatan di pemerintahan, meskipun tidak tinggi, kalau punya otak korupsi, bisa menjalankan korupsi dengan sistematis. Tidak usah banyak-banyak. Nanti terlalu kentara. Yang penting secara sistematis jalan terus. Seperti Bapak sekarang, menjelang pensiun sudah korupsi sampai Rp 200 milyar. Yah, memang tidak trilyun-trilyunan, tetapi kita tidak usah terlalu rakus. Kasihan rakyat kecil. Kalau semua koruptor korupsinya sampai trilyun-trilyunan, nanti rakyat kecil makan apa? Jangan-jangan sebutir beras pun tidak kebagian. Korupsi itu secukupnya sajalah. Asal cukup untuk istri dan anak-cucu. Nanti cucu-cucu kalian tidak usah korupsi lagi, karena sudah punya modal untuk berdagang seperti orang baik-baik. Meskipun modalnya hasil korupsi, tetapi generasi penerus kita bisa menjadi orang suci. Mereka tidak salah, ‘kan bukan mereka yang korupsi, tetapi Bapak. Biarlah Bapak menjadi tumbal, biarlah Bapak menanggung dosa dan masuk neraka, yang penting anak cucu Bapak menjadi orang-orang yang mulia.”
Koruptor itu bicara sambil makan. Istrinya mendengar juga sambil makan. Anak-anaknya makan sebanyak mungkin, entah mendengar entah tidak. Yang jelas mereka berkomentar tentang makanan.
 ”Enak juga lidah sapi ini.”
 ”Nyam-nyam.”
 ”Makanan hasil korupsi kok tetap enak ya?”
 ”Huss! Kalau tidak enak, untuk apa korupsi?
 ”O hiya ya? Aduh opor brutu! Nyam-nyam!”
 ”Aduh, hmmm, gulai kepala ikan bumbu Aceh! Sedap!”
 ”Ibu yang masak itu, satu-satunya sisa kepandaian warisan nenek moyang.”
 ”Nyam-nyam.”
 ”Nyam nyam.
 ”Nyam nyam.”
 Bapak, Ibu, enam anak, dan tiga cucu, makan dengan lahap di meja kayu jati tanpa sambungan yang mahal. Empat pembokat berdiri di empat sudut ruang dengan serbet di bahu, siap melayani tanpa diperintah, harus tahu sendiri apa yang mesti dilakukan berdasarkan pengabdian bertahun-tahun.
 Di meja makan bertumpuk segala macam makanan yang serba berminyak, sehingga berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu kristal yang gemerincing dari Italia.
 Lampu kristal itu gemerincing karena angin.
 ”Kencang juga angin ini, sampai bisa masuk rumah kukuh begini.”
 ”Bapak, di luar hujan deras.”
 ”Sudahlah, apa soalnya dengan hujan? Ayo makan!”
Sendok dan garpu berdenting-denting menimpa piring. Di luar hujan deras sungguh kelabu. Dari Jakarta sampai Aceh.

***

 SEBUAH tangan menyembul dari balik tanah. Mula-mula hanya telapak tangannya, tetapi hujan deras lantas menyisihkan tanah, sehingga seluruh lengannya muncul.
 ”Ada tangan.”
 ”Apa?”
 ”Tangan.”
 Tanah becek itu sebentar-sebentar berkilat. Dalam hujan deras yang penuh dengan guntur dan halilintar, orang-orang akhirnya menemukan tempat itu.
 ”Ini arah yang ditunjuk anak gembala itu?”
 ”Iya, jejak roda truk itu menuju ke sini.”
 ”Ayo gali! Cepat!”
Orang-orang menggali tanpa kata. Hanya terdengar suara pacul dan sekop menyendok tanah di tengah suara hujan dan angin yang hingar-bingar. Suara air hujan yang menghempas ke daun-daun pohon pisang, suara ranting-ranting yang berdesau miring tertiup angin, dan suara-suara angin itu sendiri yang menampar-namparkan hujan ke wajah mereka yang basah. Guntur dan halilintar meledak-ledak sebentar-sebentar menerangi langit. Setiap kali langit menjadi terang, orang-orang yang mencangkul dan menyekop itu sekilas berpandangan. Wajah mereka basah oleh air hujan maupun air mata. Tiada seorang pun dari mereka merasa betapa angin sebenarnya begitu dingin.
Mayat-mayat muncul dari dalam tanah seperti kenyataan. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh. Sebagian bisa dikenali. Sebagian tidak. Semuanya mendapat luka tembak.
***
“ADUH, Bapak menyedot otak dari kepala ikan begitu amat!”
 ”Aku tak pernah mau menyisakan gulai kepala ikan bikinan ibumu.”
 Bapak menyedot lagi. Suara hirupannya bagaikan sedotan kilang-kilang minyak yang menembus lautan bergelora. Tuntas dengan kepala ikan, Bapak menyedot sumsum tulang sapi. Usai dengan sumsum tulang sapi, disikatnya pula sumsum tulang kambing. Terakhir disedotnya sumsum tulang ayam.
 Satu keluarga bersendawa bersama-sama.
 ”Hoooiikkk!”
Itulah kode bagi empat pembokat untuk bekerja cepat. Meja yang semula bagaikan ladang pembantaian penuh tulang-tulang berserakan, kulit udang dan kepiting bertebaran, tusuk-tusuk sate, bungkus-bungkus daun ikan pepes, dan piring-piring kosong segera menjadi bersih.
 Empat pembokat datang kembali dengan puding karamel.
 ”Waw! Karamel!” Cucu-cucu yang serba gendut berteriak.
 Bapak langsung nyosor. Sroooggg…
 Di luar hujan tidak kunjung reda. Hampir saja dering telepon itu tidak terdengar. Seorang pembokat membawa gagang tanpa kabel itu kepada Ibu.
 ”Interlokal dari Aceh,” kata pembokat.
 Ibu yang masih kekenyangan menerima telepon. Di telepon pun ia masih sempat bersendawa. “Hooiikkk!” Tetapi kemudian wajahnya menjadi tegang. Ia berdiri, menjauh dari meja makan.
 ”Ya, ya, ya. Besok pagi saya ke sana.”
 Kemudian ia meletakkan telepon. Membalikkan badan ke meja makan.
 ”Ahmad ditemukan,” katanya.

***
MALAM itu Ibu tidak ikut berkumpul di depan TV yang layarnya seluas layar bioskop. Di dalam kamarnya yang besar dan mewah dengan jendela-jendela raksasa bertirai impor, cermin mukibat, peraduan raja-raja, dan bau setanggi dari India, lbu duduk tepekur. Di depan cermin tempatnya biasa berhias terdapat foto keluarga bersama ayah dan ibunya. Foto itu dibuat di Banda Aceh. Ia yang paling dewasa dari tujuh bersaudara duduk paling kanan. Ahmad, yang paling bungsu, dipangku ibunya.
“Mana Ibu?” kata Bapak.
“Di kamar, menangis,” jawab putrinya yang bungsu.
 Bapak tertegun sebentar, tetapi tampak malas bergerak.
 ”Ah, nanti juga sedihnya hilang,” pikirnya.
 Sementara itu hujan semakin deras. Cucu-cucu yang suka bermain di teras yang seperti amphiteater Yunani itu berlari ke dalam.
 ”Kakek! Kakek! Di luar hujan darah!”
 ”Ah, yang bener, kalian kekenyangan barangkali.”
 Namun anak-anaknya menimpali.
 ”Hujan darah? Jadi benar kata ramalan cuaca!”
 Bapak menjadi bingung.
 ”Apa kata ramalan cuaca?”
 ”Hari ini ada hujan darah dari Aceh.”
 Telepon berdering lagi. Bapak berpikir cepat.
 ”Cepat terima itu! Kalau ada yang mati lagi di Aceh, jangan kasih tahu Ibu! Aku capek melihat dia menangis!”
Jakarta, Selasa 3 Agustus 1999

Tuhan Sembilan Sent-Taufiq Ismail

Tuhan Sembilan Senti
                                                 Oleh Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,
Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara- perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na’im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,
Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok
di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena,
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu- na’im sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning
dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
kemana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang
sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai
terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat
berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan
api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
Amin Yaa Rabbalalamin

Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini -Taufik Ismail

Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini

                                             Karya Taufik Ismail

Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
1966

Puisi 'Kembalikan Indonesia Padaku' (Taufik Ismail)

Puisi 

Kembalikan Indonesia Padaku

                                                            (Taufik Ismail)

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Paris, 1971

DENGAN PUISI AKU (Taufiq ismail)

DENGAN PUISI AKU

                                                            (Taufiq ismail)
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya

Puisi Malu... Taufik Ismail

Puisi 
Malu Aku Jadi Orang Indonesia               
                                                                                        Karya Taufik Ismail
 I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini

II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama, Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

Puisi Sapardi Djoko D

Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.






Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Rabu, 27 Maret 2013

X.2.13.1 Cerita Rakyat DIY CANDI PRAMBANAN

CANDI PRAMBANAN

 Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan
Sumber: e-smartschool.com

X.2.13.2 Certa Rakyat Muasal Padi

Muasal Padi

Dahulu kala di Kahyangan, Batara Guru yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan langit, memerintahkan segenap dewa dan dewi untuk bergotong-royong, menyumbangkan tenaga untuk membangun istana baru di kahyangan. Siapapun yang tidak menaati perintah ini dianggap pemalas, dan akan dipotong tangan dan kakinya. Mendengar titah Batara Guru, Antaboga (Anta) sang dewa ular sangat cemas. Betapa tidak, ia samasekali tidak memiliki tangan dan kaki untuk bekerja. Jika harus dihukum pun, tinggal lehernyalah yang dapat dipotong, dan itu berarti kematian. Anta sangat ketakutan, kemudian ia meminta nasihat Batara Narada, saudara Batara Guru, mengenai masalah yang dihadapinya. Tetapi sayang sekali, Batara Narada pun bingung dan tak dapat menemukan cara untuk membantu sang dewa ular. Putus asa, Dewa Anta pun menangis terdesu-sedu meratapi betapa buruk nasibnya.
Akan tetapi ketika tetes air mata Anta jatuh ke tanah, dengan ajaib tiga tetes air mata berubah menjadi mustika yang berkilau-kilau bagai permata. Butiran itu sesungguhnya adalah telur yang memiliki cangkang yang indah. Barata Narada menyarankan agar butiran mustika itu dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai bentuk permohonan agar beliau memahami dan mengampuni kekurangan Anta yang tidak dapat ikut bekerja membangun istana.
Dengan mengulum tiga butir telur mustika dalam mulutnya, Anta pun berangkat menuju istana Batara Guru. Di tengah perjalanan Anta bertemu dengan seekor burung gagak yang kemudian menyapa Anta dan menanyakan kemana ia hendak pergi. Karena mulutnya penuh berisi telur Anta hanya diam tak dapat menjawab pertanyaan si burung gagak. Sang gagak mengira Anta sombong sehingga ia amat tersinggung dan marah. Burung hitam itu pun menyerang Anta yang panik, ketakutan, dan kebingungan. Akibatnya sebutir telur mustika itu pecah. Anta segera bersembunyi di balik semak-semak menunggu gagak pergi. Tetapi sang gagak tetap menunggu hingga Anta keluar dari rerumputan dan kembali mencakar Anta. Telur kedua pun pecah, Anta segera melata beringsut lari ketakutan menyelamatkan diri, kini hanya tersisa sebutir telur mustika yang selamat, utuh dan tidak pecah.
Akhirnya Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu kepada sang penguasa kahyangan. Batara Guru dengan senang hati menerima persembahan mustika itu. Akan tetapi setelah mengetahui mustika itu adalah telur ajaib, Batara Guru memerintahkan Anta untuk mengerami telur itu hingga menetas. Setelah sekian lama Anta mengerami telur itu, maka telur itu pun menetas. Akan tetapi secara ajaib yang keluar dari telur itu adalah seorang bayi perempuan yang sangat cantik, lucu, dan menggemaskan. Bayi perempuan itu segera diangkat anak oleh Batara Guru dan permaisurinya.
Nyi Pohaci Sanghyang Sri adalah nama yang diberikan kepada putri itu. Seiring waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik luar biasa. Seorang putri yang baik hati, lemah lembut, halus tutur kata, luhur budi bahasa, memikat semua insan. Setiap mata yang memandangnya, dewa maupun manusia, segera jatuh hati pada sang dewi. Akibat kecantikan yang mengalahkan semua bidadari dan para dewi khayangan, Batara Guru sendiri pun terpikat kepada anak angkatnya itu. Diam-diam Batara guru menyimpan hasrat untuk mempersunting Nyi Pohaci. Melihat gelagat Batara Guru itu, para dewa menjadi khawatir jika dibiarkan maka skandal ini akan merusak keselarasan di kahyangan. Maka para dewa pun berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Nyi Pohaci Sanghyang Sri.

Untuk melindungi kesucian Nyi Pohaci, sekaligus menjaga keselarasan rumah tangga sang penguasa kahyangan, para dewata sepakat bahwa tak ada jalan lain selain harus membunuh Nyi Pohaci. Para dewa mengumpulkan segala macam racun berbisa paling mematikan dan segera membubuhkannya pada minuman sang putri. Nyi Pohaci segera mati keracunan, para dewa pun panik dan ketakutan karena telah melakukan dosa besar membunuh gadis suci tak berdosa. Segera jenazah sang dewi dibawa turun ke bumi dan dikuburkan ditempat yang jauh dan tersembunyi.
Lenyapnya Dewi Sri dari kahyangan membuat Batara Guru, Anta, dan segenap dewata pun berduka. Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, karena kesucian dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang sangat berguna bagi umat manusia. Dari kepalanya muncul pohon kelapa; dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-rempah wangi dan sayur-mayur; dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum; dari payudaranya tumbuh buah buahan yang ranum dan manis; dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari alat kelaminnya muncul pohon aren atau enau bersadap nira manis; dari pahanya tumbuh berbagai jenis tanaman bambu, dan dari kakinya mucul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; akhirnya dari pusaranya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang paling berguna bagi manusia.
Versi lain menyebutkan padi berberas putih muncul dari mata kanannya, sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkatnya, semua tanaman berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci. Sejak saat itu umat manusia di pulau Jawa memuja, memuliakan, dan mencintai sang dewi baik hati, yang dengan pengorbanannya yang luhur telah memberikan berkah kebaikan alam, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi manusia. Pada sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuna, Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris.

Ritual dan Adat
Meskipun kini orang Indonesia kebanyakan adalah muslim atau beragama hindu, sifat dasarnya tetap bernuansa animisme dan dinamisme. Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Sri terus berlangsung bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara slametan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.

Referensi: Wikipedia
Gambar: primbondonit

Biografi Jendral Besar Soedirman


Biografi Jendral Besar Soedirman


Jendral Besar Soedirman (Ejaan Soewandi: Sudirman) (lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. enderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan


Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.



Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.

Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.

Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.

Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Berikut Ini Data Lengkap Tengtang Jendral Besar Soedirman
Nama:
Jenderal Sudirman
Lahir:
Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916
Meninggal:
Magelang, 29 Januari 1950

Agama:
Islam
Pendidikan Fomal:
- Sekolah Taman Siswa
- HIK Muhammadiyah, Solo (tidak tamat)
Pendidikan Tentara:
Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor
Pengalaman Pekerjaan:
Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap
Pengalaman Organisasi:
Kepanduan Hizbul Wathan
Jabatan di Militer:
- Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal
- Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
- Komandan Batalyon di Kroya
Tanda Penghormatan:
Pahlawan Pembela Kemerdekaan
Meniggal:
Magelang, 29 Januari 1950
Dimakamkan:
Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta


Ref : http://id.wikipedia.org/wiki/Soedirman
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sudirman/index.shtml

Biografi Chairil Anwar

CHAIRIL ANWAR

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil.


Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Berikut ini adalah salah satu puisi karya chairil anwar yang terkenal berjudul "AKU"

AKU

Oleh :
Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu-sedan itu
Aku ini binatang jalan
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Pembangoenan,
No. 1, Th. I
10 Desember 1945


Ref : http://whandi.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=2256
http://galigongli.wordpress.com/category/manuskrips-sastra-indonesia/khairil-anwar/

Biografi Habibie

Habibie



Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie dilahirkan di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal. Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda dan membaca ini dikenal sangat cerdas ketika masih menduduki sekolah dasar, namun ia harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung saat ia sedang shalat Isya.

Tak lama setelah ayahnya meninggal, Ibunya kemudian menjual rumah dan kendaraannya dan pindah ke Bandung bersama Habibie, sepeninggal ayahnya, ibunya membanting tulang membiayai kehidupan anak-anaknya terutama Habibie, karena kemauan untuk belajar Habibie kemudian menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya.

Karena kecerdasannya, Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk di ITB (Institut Teknologi Bandung), Ia tidak sampai selesai disana karena beliau mendapatkan beasiswa dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan kuliahnya di Jerman, karena mengingat pesan Bung Karno tentang pentingnya Dirgantara dan penerbangan bagi Indonesia maka ia memilih jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi Konstruksi pesawat terbang di  Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule (RWTH)Ketika sampai di Jerman, beliau sudah bertekad untuk sunguh-sungguh dirantau dan harus sukses, dengan mengingat jerih payah ibunya yang membiayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1955 di Aachean, 99% mahasiswa Indonesia yang belajar di sana diberikan beasiswa penuh. Hanya beliaulah yang memiliki paspor hijau atau swasta dari pada teman-temannya yang lain Musim liburan bukan liburan bagi beliau justru kesempatan emas yang harus diisi dengan ujian dan mencari uang untuk membeli buku. Sehabis masa libur, semua kegiatan disampingkan kecuali belajar. Berbeda dengan teman-temannya yang lain, mereka; lebih banyak menggunakan waktu liburan musim panas untuk bekerja, mencari pengalaman dan uang tanpa mengikuti ujian.



Beliau mendapat gelar Diploma Ing, dari Technische Hochschule, Jerman tahun 1960 dengan predikat Cumlaude (Sempurna) dengan nilai rata-rata 9,5, Dengan gelar insinyur, beliau mendaftar diri untuk bekerja di Firma Talbot, sebuah industri kereta api Jerman. Pada saat itu Firma Talbot membutuhkan sebuah wagon yang bervolume besar untuk mengangkut barang-barang yang ringan tapi volumenya besar. Talbot membutuhkan 1000 wagon. Mendapat persoalan seperti itu, Habibie mencoba mengaplikasikan cara-cara kontruksi membuat sayap pesawat terbang yang ia terapkan pada wagon dan akhirnya berhasil.

Setelah itu beliau kemudian melanjutkan studinya untuk gelar Doktor di Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean kemudian Habibie menikah pada tahun 1962 dengan Hasri Ainun Habibie yang kemudian diboyong ke Jerman, hidupnya makin keras, di pagi-pagi sekali Habibie terkadang harus berjalan kaki cepat ke tempat kerjanya yang jauh untuk menghemat kebutuhan hidupnya kemudian pulang pada malam hari dan belajar untuk kuliahnya, Istrinya Nyonya Hasri Ainun Habibie harus mengantri di tempat pencucian umum untuk mencuci baju untuk menhemat kebutuhan hidup keluarga. Pada tahun 1965 Habibie mendapatkan gelar Dr. Ingenieur dengan penilaian summa cumlaude (Sangat sempurna) dengan nilai rata-rata 10 dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean.

Rumus yang di temukan oleh Habibie dinamai "Faktor Habibie" karena bisa menghitung keretakan atau krack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang sehingga ia di juluki sebagai "Mr. Crack". Pada tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut Teknologi Bandung. dari tempat yang sama tahun 1965. Kejeniusan dan prestasi inilah yang mengantarkan Habibie diakui lembaga internasional di antaranya, Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l'Air et de l'Espace (Prancis) dan The US Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sementara itu penghargaan bergensi yang pernah diraih Habibie di antaranya, Edward Warner Award dan Award von Karman yang hampir setara dengan Hadiah Nobel. Di dalam negeri, Habibie mendapat penghargaan tertinggi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ganesha Praja Manggala Bhakti Kencana.


Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.

Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia ke 3. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.
Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun. Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!

Pada tanggal 22 Mei 2010, Hasri Ainun Habibie, istri BJ Habibie, meninggal di Rumah Sakit Ludwig Maximilians Universitat, Klinikum, Muenchen, Jerman. Ia meninggal pada hari Sabtu pukul 17.30 waktu setempat atau 22.30 WIB. Kepastian meninggalnya Hasri Ainun dari kepastian Ali Mochtar Ngabalin, mantan anggota DPR yang ditunjuk menjadi wakil keluarga BJ Habibie. Ini menjadi duka yang amat mendalam bagi Mantan Presiden Habibie dan Rakyat Indonesia yang merasa kehilangan. Bagi Habibie, Ainun adalah segalanya. Ainun adalah mata untuk melihat hidupnya. Bagi Ainun, Habibie adalah segalanya, pengisi kasih dalam hidupnya. Namun setiap kisah mempunyai akhir, setiap mimpi mempunyai batas.
"Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, .......ibu Ainun istri saya. Ia ikuti kemana saja saya pergi dengan penuh kasih sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya. Gini ya............saya mau kasih informasi........... Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu........." Papar BJ Habibie.
Pada Awal desember 2012, sebuah film yang berjudul "Habibie dan Ainun" diluncurkan, film ini Mengangkat kisah nyata tentang romantisme kedua saat remaja hingga menjadi suami istri dan saat ajal memisahkan mereka. Film yang diambil dari buku terlaris karya BJ Habibie, Film ini di garap oleh dua sutradara yaitu Faozan Rizal dan Hanung Bramantyo, dengan pemeran Reza Rahardian sebagai Habibie dan Bunga Citra Lestari sebagai Ainun Habibie.


Pidato BJ Habibie ketika berkunjung Ke Garuda Indonesia

Dik, anda tahu, saya ini lulus SMA tahun 1954!” beliau membuka pembicaraan dengan gayanya yang khas penuh semangat dan memanggil semua hadirin dengan kata “Dik” kemudian secara lancar beliau melanjutkan “Presiden Soekarno, Bapak Proklamator RI, orator paling unggul, itu sebenarnya memiliki visi yang luar biasa cemerlang! Ia adalah Penyambung Lidah Rakyat! Ia tahu persis sebagai Insinyur, Indonesia dengan geografis ribuan pulau, memerlukan penguasaan Teknologi yang berwawasan nasional yakni Teknologi Maritim dan Teknologi Dirgantara. Kala itu, tak ada ITB dan tak ada UI. Para pelajar SMA unggulan berbondong-bondong disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke luar negeri untuk menimba ilmu teknologi Maritim dan teknologi dirgantara. Saya adalah rombongan kedua diantara ratusan pelajar SMA yang secara khusus dikirim ke berbagai negara. Pendidikan kami di luar negeri itu bukan pendidikan kursus kilat tapi sekolah bertahun-tahun sambil bekerja praktek. Sejak awal saya hanya tertarik dengan ‘how to build commercial aircraft’ bagi Indonesia. Jadi sebenarnya Pak Soeharto, Presiden RI kedua hanya melanjutkan saja program itu, beliau juga bukan pencetus ide penerapan ‘teknologi’ berwawasan nasional di Indonesia. Lantas kita bangun perusahaan-perusahaan strategis, ada PT PAL dan salah satunya adalah IPTN.

Sekarang Dik, anda semua lihat sendiri, N250 itu bukan pesawat asal-asalan dibikin! Pesawat itu sudah terbang tanpa mengalami ‘Dutch Roll’ (istilah penerbangan untuk pesawat yang ‘oleng’) berlebihan, tenologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan untuk 30 tahun kedepan, diperlukan waktu 5 tahun untuk melengkapi desain awal, satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan teknologi ‘Fly by Wire’ bahkan sampai hari ini. Rakyat dan negara kita ini membutuhkan itu! Pesawat itu sudah terbang 900 jam (saya lupa persisnya 900 atau 1900 jam) dan selangkah lagi masuk program sertifikasi FAA. IPTN membangun khusus pabrik pesawat N250 di Amerika dan Eropa untuk pasar negara-negara itu.Namun, orang Indonesia selalu saja gemar bersikap sinis dan mengejek diri sendiri ‘apa mungkin orang Indonesia bikin pesawat terbang?

Tiba-tiba, Presiden memutuskan agar IPTN ditutup dan begitu pula dengan industri strategis lainnya.

Dik tahu di dunia ini hanya 3 negara yang menutup industri strategisnya, satu Jerman karena trauma dengan Nazi, lalu Cina (?) dan Indonesia. Sekarang, semua tenaga ahli teknologi Indonesia terpaksa diusir dari negeri sendiri dan mereka bertebaran di berbagai negara, khususnya pabrik pesawat di Bazil, Canada, Amerika dan Eropa.

Hati siapa yang tidak sakit menyaksikan itu semua?

Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun. Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!

Pak Habibie menghela nafas, Pak Habibie melanjutkan pembicaraannya....

Hal yang sama terjadi pada prototipe pesawat jet twin engines narrow body, itu saya tunjuk Ilham sebagai Kepala Proyek N2130. Ia bukan karena anak Habibie, tapi Ilham ini memang sekolah khusus mengenai manufakturing pesawat terbang, kalau saya sebenarnya hanya ahli dalam bidang metalurgi pesawat terbang. Kalau saja N2130 diteruskan, kita semua tak perlu tergantung dari Boeing dan Airbus untuk membangun jembatan udara di Indonesia.

Dik, dalam industri apapun kuncinya itu hanya satu QCD,
− Q itu Quality, Dik, anda harus buat segala sesuatunya berkualitas tinggi dan konsisten− C itu Cost, Dik, tekan harga serendah mungkin agar mampu bersaing dengan produsen sejenis− D itu Delivery, biasakan semua produksi dan outcome berkualitas tinggi dengan biaya paling efisien dan disampaikan tepat waktu!Itu saja!

Pak Habibie melanjutkan penjelasan tentang QCD sbb:
Kalau saya upamakan, Q itu nilainya 1, C nilainya juga 1 lantas D nilainya 1 pula, jika dijumlah maka menjadi 3. Tapi cara kerja QCD tidak begitu Dik, organisasi itu bekerja saling sinergi sehingga yang namanya QCD itu bisa menjadi 300 atau 3000 atau bahkan 30.000 sangat tergantung bagaimana anda semua mengerjakannya, bekerjanya harus pakai hati Dik”

Tiba-tiba, pak Habibie seperti merenung sejenak mengingat-ingat sesuatu...

Dik, saya ini memulai segala sesuatunya dari bawah, sampai saya ditunjuk menjadi Wakil Dirut perusahaan terkemuka di Jerman dan akhirnya menjadi Presiden RI, itu semua bukan kejadian tiba-tiba. Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, ibu Ainun istri saya. Ia ikuti kemana saja saya pergi dengan penuh kasih sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya. Gini ya, saya mau kasih informasi...... Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu.

Pak Habibie menghela nafas panjang dan tampak sekali ia sangat emosional serta mengalami luka hati yang mendalam, seisi ruangan hening dan turut serta larut dalam emosi kepedihan pak Habibie, apalagi aku tanpa terasa air mata mulai menggenang.

Dengan suara bergetar dan setengah terisak pak Habibie melanjutkan...

Dik, kalian tau, 2 minggu setelah ditinggalkan ibu, suatu hari, saya pakai piyama tanpa alas kaki dan berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sendirian sambil memanggil-manggil nama ibu... Ainun.... Ainun ........ Ainun ........saya mencari ibu di semua sudut rumah.

Para dokter yang melihat perkembangan saya sepeninggal ibu berpendapat ‘Habibie bisa mati dalam waktu 3 bulan jika terus begini...’ mereka bilang ‘Kita (para dokter) harus tolong Habibie.

Para Dokter dari Jerman dan Indonesia berkumpul lalu saya diberinya 3 pilihan;
1. Pertama, saya harus dirawat, diberi obat khusus sampai saya dapat mandiri meneruskan hidup. Artinya saya ini gila dan harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa!2. Opsi kedua, para dokter akan mengunjungi saya di rumah, saya harus berkonsultasi terus-menerus dengan mereka dan saya harus mengkonsumsi obat khusus. Sama saja, artinya saya sudah gila dan harus diawasi terus...3. Opsi ketiga, saya disuruh mereka untuk menuliskan apa saja mengenai Ainun, anggaplah saya bercerita dengan Ainun seolah ibu masih hidup.

Saya pilih opsi yang ketiga...

*(dari tayangan program di stasiun televisi 27 Januari 2012, P.Habibie bercerita, ternyata ada 4 opsi,bukan 3, dimana opsi yang belum tersebut di atas adalah, P.Habibie diminta bercerita tentang apa saja tentang bu Ainun kepada dokter, hampir sama dengan opsi 2)

Tiba-tiba, pak Habibie seperti teringat sesuatu (kita yang biasa mendengarkan beliau juga pasti maklum bahwa gaya bicara pak Habibie seperti meloncat kesana-kemari dan kadang terputus karena proses berpikir beliau sepertinya lebih cepat dibandingkan kecepatan berbicara dalam menyampaikan sesuatu).. ia melanjutkan pembicaraannya;

Dik, hari ini persis 600 hari saya ditinggal Ainun.......dan hari ini persis 597 hari Garuda Indonesia menjemput dan memulangkan ibu Ainun dari Jerman ke tanah air Indonesia.

Saya tidak mau menyampaikan ucapan terima kasih melalui surat..... saya menunggu hari baik, berminggu-minggu dan berbulan-bulan untuk mencari momen yang tepat guna menyampaikan isi hati saya. Hari ini didampingi anak saya Ilham dan keponakan saya, Adri maka saya, Habibie atas nama seluruh keluarga besar Habibie mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, kalian, Garuda Indonesia telah mengirimkan sebuah Boeing B747-400 untuk menjemput kami di Jerman dan memulangkan ibu Ainun ke tanah air bahkan memakamkannya di Taman Makam Pahlawan. Sungguh suatu kehormatan besar bagi kami sekeluarga. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan Garuda Indonesia.

Seluruh hadirin terhenyak dan saya tak kuasa lagi membendung air mata.......

Setelah jeda beberapa waktu, pak Habibie melanjutkan pembicaraannya;

Dik, sebegitu banyak ungkapan isi hati kepada Ainun, lalu beberapa kerabat menyarankan agar semua tulisan saya dibukukan saja, dan saya menyetujui...

Buku itu sebenarnya bercerita tentang jalinan kasih antara dua anak manusia. Tak ada unsur kesukuan, agama, atau ras tertentu. Isi buku ini sangat universal, dengan muatan budaya nasional Indonesia. Sekarang buku ini atas permintaan banyak orang telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, antara lain Inggris, Arab, Jepang..... (saya lupa persisnya, namun pak Habibie menyebut 4 atau 5 bahasa asing).Sayangnya buku ini hanya dijual di satu toko buku (pak Habibie menyebut nama satu toko buku besar), sudah dicetak 75.000 eksemplar dan langsung habis. Banyak orang yang ingin membaca buku ini tapi tak tahu dimana belinya. Beberapa orang di daerah di luar kota besar di Indonesia juga mengeluhkan dimana bisa beli buku ini di kota mereka.

Dik, asal you tahu, semua uang hasil penjualan buku ini tak satu rupiahpun untuk memperkaya Habibie atau keluarga Habibie. Semua uang hasil penjualan buku ini dimasukkan ke rekening Yayasan yang dibentuk oleh Habibie dan ibu Ainun untuk menyantuni orang cacat, salah satunya adalah para penyandang tuna netra. Kasihan mereka ini sesungguhnya bisa bekerja dengan nyaman jika bisa melihat.

Saya berikan diskon 30% bagi pembeli buku yang jumlah besar bahkan saya tambahkan lagi diskon 10% bagi mereka karena saya tahu, mereka membeli banyak buku pasti untuk dijual kembali ke yang lain.

Sekali lagi, buku ini kisah kasih universal anak manusia dari sejak tidak punya apa-apa sampai menjadi Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara. Isinya sangat inspiratif.”

Sebagian Karya beliau dalam menghitung dan mendesain beberapa proyek pembuatan pesawat terbang :

* VTOL ( Vertical Take Off & Landing ) Pesawat Angkut DO-31.
* Pesawat Angkut Militer TRANSALL C-130.
* Hansa Jet 320 ( Pesawat Eksekutif ).
* Airbus A-300 ( untuk 300 penumpang )
* CN - 235
* N-250
* dan secara tidak langsung turut berpartisipasi dalam menghitung dan mendesain:
· Helikopter BO-105.
· Multi Role Combat Aircraft (MRCA).
· Beberapa proyek rudal dan satelit.

Sebagian Tanda Jasa/Kehormatannya :

* 1976 - 1998 Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/ IPTN.
* 1978 - 1998 Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
* Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi / BPPT
* 1978 - 1998 Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero).
* 1978 - 1998 Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam/ Opdip Batam.
* 1980 - 1998 Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan Keamanan (Keppres No. 40, 1980)
* 1983 - 1998 Direktur Utama, PT Pindad (Persero).
* 1988 - 1998 Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis.
* 1989 - 1998 Ketua Badan Pengelola Industri Strategis/ BPIS.
* 1990 - 1998 Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia/lCMI.
* 1993 Koordinator Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
* 10 Maret - 20 Mei 1998 Wakil Presiden Republik Indonesia
* 21 Mei 1998 - Oktober 1999 Presiden Republik Indonesia

Referensi :

http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id
http://www.e-smartschool.com/