Kurma Kiai Karnawi
Cerpen
Agus Noor (Kompas, 7 Oktober 2012)
TUBUH orang itu menghitam—nyaris gosong—sementara kulitnya
kisut kering penuh sisik kasar dengan borok kering. Mulutnya perot, seakan ada
yang mencengkeram rahang dan lehernya. Ia terbelalak seolah melihat maut yang
begitu mengerikan. Sudah lebih delapan jam ia mengerang meregang berkelojotan.
Orang-orang yakin: dia terkena teluh, dan hanya kematian yang bisa
menyelamatkan.
Kiai
Karnawi, yang dipanggil seorang tetangga, muncul. Beliau menatap penuh
kelembutan pada orang yang tergeletak di kasur itu. Kesunyian yang mencemaskan
membuat udara dalam kamar yang sudah pengap dan berbau amis terasa semakin
berat. Beberapa orang yang tak tahan segera beranjak keluar dengan menahan
mual. Kiai Karnawi mengeluarkan sebutir kurma, dan menyuapkan ke mulut orang
itu. Para saksi mata menceritakan: sesaat setelah kurma tertelan, tubuh orang
itu terguncang hebat, seperti dikejutkan oleh badai listrik. Lalu cairan hitam
kental meleleh dari mulutnya, berbau busuk, penuh belatung dan lintah. Dari
bawah tubuhnya merembes serupa kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah.
Seekor ular keluar dari duburnya, dan—astaghfirullah—puluhan paku
berkarat menyembul dari pori-pori orang itu. Lalu berjatuhan pula puluhan mur
dan baut, potongan kawat berduri, biji-biji gotri dan silet yang masih terlihat
berkilat. Orang itu mengerang panjang. Kiai Karnawi mengangguk ke arah yang
menyaksikan, “Biarkan dia istirahat.”
Keesokan
harinya, orang itu sudah bugar.
Kisah
itu hanyalah salah satu dari banyak kisah yang sudah Hanafi dengar tentang Kiai
Karnawi. Kisah paling dramatik yang Hanafi dengar, ialah saat terjadi bentrok
petani dengan aparat. Para buruh tani yang bertahun-tahun menggarap lahan
protes ketika diusir, karena hendak dibangun perumahan mewah. Merasa protesnya
tak ditanggapi, mereka merusak pagar pembatas dan mulai bentrok dengan aparat
yang mengepung. Beberapa gubuk petani dibakar beberapa preman yang disewa
pengembang, membuat suasana makin kalap. Bentrokan tak bisa dihindarkan. Aparat
mulai melepaskan tembakan. Satu peluru nyasar mengenai seorang bocah, tepat
menghunjam kepalanya. Kemunculan Kiai Karnawi mampu meredakan amuk buruh tani.
Saat itu Kiai Karnawi berhasil menangkap sebutir peluru yang ditembakkan
kepadanya (Hanafi suka membayangkan adegan ini secara slow motion seperti
dalam film) dan langsung membentak komandan pasukan, agar menarik mundur semua
aparat. Bocah yang kepalanya tertembak dibopong Kiai Karnawi, yang langsung
menyuapkan sebutir kurma. Pelan-pelan, peluru yang menancap dalam kepala bocah
itu menggeliat keluar. Dan lubang bekas peluru itu, menutup dengan sendirinya.
Kisah
lain adalah ibu hamil yang kandungannya sudah lebih dari 19 bulan, tapi bayi
itu tak juga mau keluar. Ia buruh cuci harian, yang tak punya biaya untuk caesar.
Perut itu menggelembung, seolah membopong sekarung beras, membuatnya kepayahan
berjalan. Belum lagi rasa sakit yang selalu menyodok-nyodok dan mengaduk-aduk
perutnya. Ia akhirnya hanya bisa terkapar dengan perut yang semakin membesar.
Orang-orang kemudian kasak-kusuk, kalau bayi yang dikandungnya membawa kutukan.
Kalaupun lahir hanya membawa keburukan. Setelah kehilangan harapan, suaminya
mendatangi Kiai Karnawi, yang memberinya sebiji kurma. “Pulanglah, dan suruh
istrimu makan kurma ini,” ujar Kiai Karnawi. Dua jam setelah makan kurma itu,
bayinya lahir: selamat dan sehat.
Itu
kurma ajwah, kata orang-orang. Kurma Nabi. Kurma dari surga, yang bisa
menangkal sihir dan racun. Kanjeng Nabi sendiri yang menanam bibit pohon kurma
itu di Madinah. Warnanya kehitaman, tak lebih hanya setengah jari orang dewasa,
lebih kecil dibanding kurma lainnya, tapi paling enak rasanya. Kiai Karnawi
memetik langsung kurma itu dari pohon yang ditanam Kanjeng Nabi. Kisah itu,
sering diceritakan berulang-ulang Umar Rais kepada Hanafi. “Terkadang, setiap
Jumatan, Kiai Karnawi sholat di Masjid Nabawi,” ujar majikannya. “Setelah itu,
Kiai Karnawi selalu memetik kurma ajwah dan membawanya pulang. Di bulan
Ramadhan, Kiai Karnawi juga sering sholat witir di masjid Madinah itu….”
Tapi
ada lagi cerita lain yang didengar Hanafi. Kabarnya Kiai Karnawi didatangi Nabi
Khidir dalam mimpi. Kiai Karwani diajak ke kebun kurma yang begitu luas, seakan
batas kebun itu jauhnya sampai ke lengkung cakrawala. Ada beberapa tenda di
dekat kebun kurma itu. Di sana sudah berkumpul beberapa orang. Sepertinya
mereka kafilah pengembara dari berbagai negeri yang jauh. Nabi Khidir kemudian
menyuruh mereka menunjukkan: yang mana pohon kurma ajwah di antara ratusan
pohon kurma yang tumbuh di kebun itu. Dengan yakin, satu per satu orang itu
menunjuk sebuah pohon. Tapi Nabi Khidir menggeleng. Tak satu pun dari
orang-orang itu berhasil. Sampai tiba giliran Kiai Karnawi.
“Bisakah
kisanak tunjukan, yang mana pohon kurma ajwah yang ditanam kanjeng Nabi, 14
abad yang lalu,” ujar Nabi Khidir.
“Sebelumnya,
maafkan sahaya yang daif ini, Sinuhun,” Kiai Karnawi bicara sopan, “bisakan
Sinuhun memberi tahu terlebih dahulu, di manakah arah kiblat….”
Lalu
Nabi Khidir menunjuk satu arah. Tepat, di arah yang ditunjuk itu terlihat satu
pohon kurma.
“Terima
kasih, Sinuhun. Itulah gerangan pohon kurma ajwah yang Sinuhun maksud….”
Nabi
Khidir tersenyum. Dipetik satu buah kurma, dan diberikan pada Kiai Karnawi.
Banyak yang yakin, kurma itulah yang selalu diberikan Kiai Karnawi kepada
orang-orang. Sebiji kurma itu, tak akan pernah habis dimakan. Ada kejadian yang
dilihat langsung Hanafi terkait hal itu. Ia diajak majikannya mengikuti
pengajian Kiai Karnawi. Ratusan orang hadir di pengajian lailatul qadar di rumah Kiai Karnawi yang kecil dan sederhana. Hanafi
melihat sebutir kurma tersaji di piring seng yang sudah tampak kuno.
Bergiliran, ratusan orang yang hadir mengambil kurma itu dan memakannya—atau
ada yang mengantunginya untuk dibawa pulang—tapi di piring itu: tetap saja
masih ada sebutir kurma….
Kurma
ajwah pemberian Nabi Khidir, begitu banyak orang meyakini.
Beberapa
kali Hanafi bertemu Kiai Karnawi, saat mengantar Umar Rais sowan. Tak hanya
pada acara-acara keagamaan, tapi pada tiap kesempatan—biasanya pada akhir pekan
dan saat ada bakti sosial seperti sunatan massal atau pengobatan gratis di
rumah Kiai Karnawi—majikannya selalu menyempatkan datang.
Perawakan
Kiai Karnawi kurus, agak pendek, berkulit coklat gelap. Penampilannya sama
sekali tidak meyakinkan sebagai seorang kiai yang kharismatik. Tidak bergaya,
gumam Hanafi saat pertama kali melihatnya, tidak seperti kebanyakan tokoh agama
sekarang yang sering dilihatnya di televisi, yang selalu berpakaian modis atau
bersurban putih necis. “Hehe, saya ini memang kiai jadul,” Kiai Karnawi tertawa
terkekeh, sambil melirik Hanafi. Langsung membuat Hanafi tertunduk. Ia yakin,
Kiai Karnawi bisa membaca yang dipendam dalam hatinya.
Sehari-hari
Kiai Karnawi hanya berpeci hitam—yang sudah kusam—dan mengenakan sarung
komprang, serta baju model kemeja warna gelap. Tapi kesederhanaannya itulah
yang membuat ia terlihat lebih berwibawa. Dan ini yang kemudian membuat Hanafi
terkesan: meskipun jarang mengutip ayat-ayat, nasihatnya disimak dan dipatuhi.
Bukan kiai yang suka mengobral ayat, begitu komentar orang-orang. “Tak perlu
sebentar-bentar mengutip ayat, untuk menjadi bijak,” ujar Kiai Karnawi, pada
pengajian yang sempat Hanafi ikuti.
***
SORE
itu Hanafi melihat majikannya agak gugup. “Cepat kamu ke rumah Kiai Karnawi…..”
Wajah Umar Rais yang tak bisa menyembunyikan kepanikan membuat Hanafi malah
jadi bingung, dan bengong. “Ayo, cepat. Besok sudah pencoblosan. Kiai Karnawi
mau memberi saya kurma. Mestinya saya mengambilnya sekarang. Tapi saya mesti
rapat konsolidasi terakhir dengan para pimpinan partai pendukung. Jangan sampai
lupa. Biar saya diantar Hamid, kamu yang ambil kurma itu. Sebelum jam dua belas
nanti, kurma itu harus sudah saya terima. Jangan lupa!”
Mendengar
majikannya mengucapkan ‘jangan lupa’ sampai dua kali dan bernada tegas, Hanafi
tahu, persoalan kurma itu amat penting bagi majikannya. Sejak terjun ke
politik, majikannya memang jadi terlihat gampang tegang. Dua puluh tahun
menjadi sopir Pak Rais, membuat Hanafi bisa merasakan perubahan itu. Ia
sebenarnya juga tak terlalu setuju ketika majikannya mulai aktif di partai
politik. “Buat apa sih ikut partai politik,” katanya waktu itu. “Lebih enak
jadi pengusaha kan.”
“Sekarang
ini tak cukup hanya jadi pengusaha,” jawab Umar Rais. “Kamu tahu, jadi
pengusaha kalau tidak dekat dengan partai juga sulit dapat proyek. Tidak
bakalan dapat bagian. Semua politikus itu sudah melebihi pengusaha cara
berpikirnya. Mereka hanya berpikir untung, untung dan untung. Mereka harus
dapat bagian untuk setiap proyek yang mereka anggarkan. Proyek belum berjalan,
mereka harus diberi persekot di depan. Sementara keuntungan pengusaha yang
makin sedikit juga mesti dialokasikan buat setor ke partai. Kalau tidak ya
tidak bakal bisa menang tender&hellip.”
Hanafi
diam mendengar jawaban itu. Hanafi sudah ikut Umar Rais sejak majikannya itu
merintis usaha mebel. Ketika krisis moneter membuat nilai tukar rupiah jatuh,
usahanya mendapat keuntungan berlipat, karena mebel yang diekspor dibayar
dengan dollar. Kemudian majikannya mulai berbisnis sebagai kontraktor dan
pengembang. Bagi Hanafi, itu dirasakannya sebagai masa-masa yang menyenangkan
menjadi sopir Pak Rais. Ia merasa dekat dan hangat. Pak Rais banyak bercanda,
dan punya banyak waktu buat keluarganya. Sebagai sopirnya, ia juga merasa lebih
santai, tak seperti sekarang yang setiap hari bisa lebih sepuluh kali mengantar
ke sana-kemari untuk pertemuan atau rapat partai. Apalagi ketika majikannya
mencalonkan diri jadi wali kota. Setiap waktu jadi tampak serius dan tegang.
Dari pagi Hanafi harus mengantar dari satu rapat ke rapat lainnya. Yang
membuatnya lebih capek, ia harus sering mengirim bermacam atribut kampanye,
berkardus-kardus barang dan bingkisan amplop—yang ia yakin berisi
bergepok-gepok uang—ke posko-posko pemenangan hingga pelosok kampung. Bisa subuh
ia baru pulang, dan harus siap lagi jam enam pagi. Melelahkan. Lagi pula ia
takut, nanti kalau majikannya benar-benar jadi wali kota, buntut-buntutnya akan
kesangkut korupsi.
Terus
terang, itu semua yang tak terlalu membuat Hanafi suka. Ia sempat bilang,
“Kenapa sih mesti mencalonkan diri jadi wali kota segala? Nanti malah repot….”
“Saya
tidak mencalonkan diri, Hanafi,” jawab Pak Umar sambil tersenyum. “Saya ini
hanya dicalonkan. Banyak partai yang meminta dan mendukung. Yah, saya ini
ibaratnya hanya menjalankan amanah. Kalau nanti saya menang, kan kamu juga ikut
senang. Kamu nanti saya jadikan kader partai nomer satu….”
“Jadi
kader partai itu tidak enak, nanti malah jadi tumbal,” Hanafi melirik
majikannya yang terdiam. “Saya lebih senang Bapak jadi pengusaha saja. Politik
itu mengerikan.”
“Mengerikan
bagaimana?”
“Ya,
takut saja nanti Bapak kena KPK….”
Umar
Rais hanya tertawa pelan. “Kamu tenang saja. Saya mau dicalonkan jadi wali kota
begini ya setelah minta nasehat Kiai Karnawi kok. Beliau memberi restu. Kalau
tidak, ya saya tidak berani maju. Nanti, sehari menjelang pencoblosan, Kiai
Karnawi akan memberi saya kurma.”
Kurma
itulah yang harus segera diambil oleh Hanafi.
***
HANYA
Hanafi yang terlihat bengong ketika hasil penghitungan suara pemilihan wali kota
resmi diumumkan: Umar Rais terpilih sebagai wali kota! Suasana rumah majikannya
dipenuhi sukacita kebahagiaan. Dua anak laki-laki Pak Umar yang sudah mahasiswa
bahkan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya dengan berlarian teriak-teriak
keliling halaman, “Yeaah, akhirnya Bapak jadi wali kota! Wali kota!!” Beberapa
pendukung sujud syukur. Puluhan orang bergiliran datang memberi selamat. Bu
Umar terlihat selalu tersenyum menyambut setiap ucapan.
“Kenapa
kamu bengong begitu?” Hamid menepuk pundaknya. Membuat Hanafi tergeragap. “Kamu
tidak senang Pak Umar menang?”
Hanafi
mencoba tersenyum. Ia bukan tak suka majikannya menang. Ia hanya heran, kenapa
bisa menang?! Hanafi melihat majikannya melambai memanggilnya. Buru-buru ia
mendekat.
“Ada
apa, Pak?”
“Nanti
kamu antar saya ke Kiai Karnawi. Saya mesti sowan. Mesti berterima kasih. Saya
yakin, berkat kurma Kiai Karnawi itulah saya bisa menang….”
Hanafi
cepat-cepat mengangguk. Bukan mengiyakan, tetapi lebih untuk menyembunyikan
kegugupannya. Tiba-tiba ia ingat ketika mengambil kurma Kiai Karnawi
sebagaimana disuruh majikannya. Ia berharap majikannya tak terpilih, makanya
kurma dari Kiai Karnawi itu ia makan sendiri. Adapun kurma yang dia berikan
pada majikannya hanyalah kurma yang ia beli di pinggir jalan. (*)
.
.
Bandung, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar