Senyum Karyamin*
Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati.
Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu
kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes
dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari
sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah berpengalaman agar
setiap perjalananya selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik
berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya.
Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanannya pun harus dilakukan
dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan
demi keseimbangan yang sempurna.
Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua
kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan
batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin
menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu, senang
mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati.
Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah.
Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya
kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya
yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi
di lehernya muncul menyembul kulit.
Boleh jadi Karyamin akan selamat sampai ke
atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari
ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat
tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.
“Bangsat!” teriak Karyamin yang sedetik
kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh
terduduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur,
tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan. Empat
atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama. Mereka, para pengumpul batu
itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
“Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu
tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus,” kata Sarji yang diam-diam iri
pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.
“Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang
diri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan
kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu.
Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini
pasti sedang digodanya.”
“Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank
harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar dia juga sering
datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang
hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri!”
Suara gelak tawa terdengar riuh di antara
bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai
mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian
jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin.
Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap
menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan
cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.
Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang
kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat
kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang
kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba
rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya.
Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi hawa. Dan mata
Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.
Tetapi kawan-kawan Karyamin mulai berceloteh
tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka melihat sesuatu yang enak
dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang
selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang
dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel
yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang
selalu gagal mereka tangkap.
“Min!” teriak Sarji. “Kamu diam saja, apakah
kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha?”
Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul
batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka
sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi
mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan
senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap
rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin
pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya
yang berkunang-kunang.
Memang. Karyamin hanya tersenyum. Lalu bangkit
meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan
pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika
menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung
tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi
mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru,
Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik.
Ususnya terasa terpilin.
“Masih pagi kok mau pulang, Min?” tanya
Saidah. “Sakit?”
Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah
memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat.
Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.
“Makan, Min?”
“Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah
ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
“Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?”
Karyamin hanya tersenyum sambil menerima
segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan
Karyamin terus ke lambungnya.
“Makan, ya Min? aku tak tahan melihat orang
lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga
belum dibayarnya, kan?”
Si paruh udang kembali melintas cepat dengan
suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang
demikian pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di
mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang
dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup.
Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai.
Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.
”Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?” tanya
Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
”Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku
lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan
kawan-kawan.”
”Iya Min, iya. Tetapi….”
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena
Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi saidah masih sempat melihat Karyamin
menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah
berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil
didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong
liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru dengan segala macam
seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar
senyum.
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai,
mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang
menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap,
dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik
menyambar kan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya,
burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah
dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh
udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang
kosong.
Sesungguhnya Karyamin tidak tahu betul mengapa
dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari
lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, Karyamin ingat bahwa
istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak
bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya. “Maka apa salahnya bila aku
pulang buat menemani istriku yang meriang.”
Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun
kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dalam rongga matanyta.
Setelah melintasi titian Karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia
ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat jelas bekas
gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar
pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh.
Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan
Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging ketika Karyamin harus menempuh
sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena di balik tanjakan itulah rumahnya.
Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin
mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya.
Denging dalam telinganya terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang di matanya
pun semakin banyak. Maka Karyamin sungguh-sungguh berhenti, dan termangu.
Dibayangkan istrinya yang sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank
harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari
ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga kapan, seperti entah kapan
datangnya tengkulak yang telah setengah bulan membawa batunya.
Masih dengan seribu kunang-kunang di matanya,
Karyamin mulai berpikir apa perlunya dia pulang. Dia merasa pasti tak bisa
menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang sedang menghadapi dua
penagih bank harian. Maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali
turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju batik
bermotif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan
meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.
“Nah, akhirnya kamu ketemu juga, Min. Kucari
kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?”
“Menghindar?”
“Ya, kamu memang mbeling, Min. di gerumbul ini
hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana
Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang
hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kaupersulit.”
Karyamin mendengar suara napas sendiri.
Samar-samar Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri. Tetapi karyamin
tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat
baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang harus
dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.
“Kamu menghina aku, Min?”
“Tidak, Pak. Sungguh tidak.”
“Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum?
Hayo cepat; mana uang iuranmu?”
Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum,
melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah
masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kampong
berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat
tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong berusaha menahannya.
Sayang, gagal.
* Tohari, Ahmad, “Senyum Karyamin, Kumpulan
Cerpen”, Gramedia, Juni 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar