Zaim
Yang Penyair Ke Istana
Cerpen AA Navis
Aku dapat undangan mengikuti
suatu kongres di Jakarta. Penginapan
peserta di Hotel Indonesia. Hotel yang alu
kagumi pada awal didirikan 35 tahun yang lalu. Saat kongres itulah aku baru bisa inapi. Temanku
sekamar Zaim namanya. Penyair dari Madura. Aku belum melihat batang hidungnya. Mungkin sudah. Hanya karena belum kenal saja aku merasa
belum ketemu dia.
Rupanya pada setiap kongres yang bertaraf
nasional, mestilah dibuka oleh
Presiden. Bila Presiden tidak bisa hadir,
maka pesertalah yang datang menghadap
ke Istana. Aku termasuk salah
seorang yang tidak bisa ikut menghadadap
oleh alasan tidak memiliki syarat
yang pantas. Yaitu stelan jas dan dasi.
Yah, apa boleh buatlah. Maka aku pun
tenang-tenang saja menerima sejarah hidup yang tidak bisa ketemu Presiden.
Beberapa saat menjelang tengah malam, ketika aku lagi asyik
nonton acara musik simponi yang diantar Katamsi di TVRI,
pintu kamar diketok orang. Seorang
laki-laki yang sudah lewat masa
mudanya berdiri di ambang pintu. Rupanya
dialah teman sekamarku, Zaim yang penyair dari Madura itu.
Katanya: "Ketika aku tahu
bahwa Pak Dali jadi teman sekamarku, bukan main senang hatiku." Tapi
setelah dia membantingkan bokongnya di kasur tidur, rasa senangnya
tak kelihatan lagi. Dia murung.
"Minum dulu." kataku.
Dia berdiri dan membuka freezer kecil di
dekat meja. Tapi freezer itu tidak ada
isinya. "Kok sudah kosong?" katanya
seraya menatap dengan mata yang
seperti menyesali karena menduga
akulah yang telah menghabiskan isinya.
"Untuk peserta undangan, memang dikosongkan isinya." kataku.
Setelah melihat isi teko pun sudah kosong dia ke
kamar mandi. Agak lama juga. Ketika keluar eadaannya telah nyaman. Aku kira dia minum air kran di sana.
Setelah membenahi tas bawaannya dan kembali
membantingkan bokongnya ke kasur, wajah
murungnya terlihat lagi. Agak lama
kemudian, dia berbaring tanpa mengganti pakaian. Menelentang lurus. Jari
jemari kedua tangannya saling berkaitan di atas perutnya. Dan aku mengecilkan volume suara
televisi.
"Tadi panitia memberi tahu, besok pukul sepuluh
kita sudah harus sampai di istana." katanya.
"Uh uh." aku mendengus
mengiyakan.
"Tapi aku tidak bisa
pergi."
"Kenapa?"
"Aku tidak punya jas."
"Kalau begitu kita
sama."
"Tapi aku ingin pergi. Ingiiin
sekali."
"Ke istananya atau ketemu
presiden?"
"Dua-duanya."
Kami terdiam lagi. Dia terus
menelentang di tempat tidur, dan saya terus nonton acara televisi.
"Kata Si Tarji, di Pasar
Rumput ada dijual baju bekas. Pagi-pagi
aku sudah harus ke sana. Naik taksi supaya bisa keburu, katanya."
"Tentu." kataku
seadanya.
Kami sama diam lagi. Dia masih menelentang di
tempat tidur dan aku masih terus nonton. Kemudian dia bangun dan hilir mudik dari tempat tidur ke pintu.
Tiap sebentar dia menggaruk belakang
kepalanya. Barangkali dia punya persoalan rumit yang ingin dia sampaikan.
Kiraanku benar. Karena tak lama kemudian dia berkata seperti kepada diri
sendiri: "Menurut Tarji, sewa taksi
ke sana pulang pergi sepuluh ribu.
Harga jas bekas, mungkin empat puluh ribu. Jas itu bisa dijual lagi dua puluh lima ribu.
Kata panitia, lumsum baru bisa dibayar pada hari terakhir. Celaka. Huhh. Padahal aku
ingin sekali ketemu Presiden. Di istana lagi. Tak akan ada kesempatan lain buat aku bisa
ketemu Presiden kalau tidak
sekarang. Huhh."
Aku maklum sudah pada ujung omonganya, dia
mau pinjam uang. Dan sebelum dia berkata
lagi, aku katakan bahwa saya bisa
pinjamkan dia uang.Aku keluarkan dompetku dan aku hitung isinya.
"Kamu boleh pakai separoh."
Jumlah yang separoh itu tidak
lebih dari dua puluh lima ribu rupiah.
Zaim lalu melompat untuk memeluk aku, sehingga
kursi yang aku duduki hampir terjungkal. "Terima kasih,
Pak. Terima kasih. Dua puluh lima
ribu sudah cukup. aku punya tiga puluh
ribu. Jadi paslah."
Pagi-pagi Zaim sudah keluar. Aku
santai-santai saja ke ruang makan untuk
sarapan. Semua peserta yang akan ke
istana sudah siap-siap dengan stelan jasnya. Seperti anggota MPR yang akan disumpah layaknya. Padahal
waktu itu baru lebih
sedikit pukul delapan. Ketika aku baru saja mulai sarapan, seorang panitia mendekati.
"Pak, cepat, Pak. Kita sudah harus berangkat pukul sembilan."
"Tapi aku tidak ikut."
kataku.
"Tidak bisa, Pak. Tidak
bisa. Nama Bapak sudah dikirim. Karena itu harus ikut, Pak."
"Aku tidak punya jas. Aku
cuma punya baju batik."
"Waduh, Pak. Nanti bila
ditanya sekuriti, repot, Pak."
katanya lagi.
Aku meneruskan sarapanku. Seselesai sarapan
aku langsung ke kamar lagi demi
menghindari umpatan panitia kalau masih melihat
aku. Tapi beberapa menit
kemudian pintu kamarku saya
diketok. Ketika aku membukanya, panitia
yang mengumpat itu berdiri di depanku dengan wajah yang gembira dan mengatupkan
jari kedua tangannya ke
dada. "Syukur, Pak. Syukur.
Aku berhasil memperjuangkan Bapak."
Dalam waktu aku
terbingung-bingung dia melanjutkan
setelah memandang ke kakiku. "Bapak punya sepatu, bukan?"
Aku mengangguk.
"Syukur, Pak. Syukur. Berkat
perjuangan saya, Bapak sudah bisa ke istana ketemu Presiden. Tidak sembarang
orang, lho, yang bisa ke sana.
Siap-siaplah, Pak. Kita mau berangkat."
"Jadi boleh pakai baju batik
saja?" tanyaku.
"Itulah yang aku
perjuangkan, Pak."
"Bagaimana caranya?"
"Aku bilang pada komandan
sekuriti istana, bahwa banyak peserta
tidak bisa hadir, karena tidak punya jas. Maklum banyak seninam, yang meski punya nama
besar, tapi miskin. Lalu sekuriti
itu bilang: Boleh pakai baju
batik, asal rapi dan pakai
sepatu. Begitu, Pak, katanya."
Maka berangkatlah
aku ke istana untuk pertama
kali seumur hidupku. Tapi aku tidak melihat batang hidung Zaim.
Mungkin dia dengan
bus lain yang berjejer
banyak di halaman hotel. Tapi
mungkin saja aku tidak bisa melihatnya diantara sekian banyak orang yang sama
pakai jas. Waktu di ruang tunggu istana, aku tidak juga melihat Zaim.
Saya terlalu asyik melihat lukisan yang tergantung di dinding. Hampir semua pelukis yang lukisannya
ada di situ aku kenal namanya sejak lama.
Dan ketika semua peserta disuruh
masuk ke ruang audiensi, ternyata akulah
satu-satunya peserta yang mengenakan
baju batik. Karena tahu diri tersebab tidak punya jas, aku ku masuk paling
akhir dan duduk pun di kursi barisan
paling belakang. Di sebelahku Rosihan yang biasa dendi dengan stelan
jasnya. Katanya: "Kalau mau masuk televisi
cari tempat duduk di depan. Bagusnya sebelah sini."
Aku memandang ke deretan kursi bagian depan. Yang
di sana para pejabat dan panitia. Tidak seorang pun orang sebangsa aku. Di sisi sebelah kanan seperti yang dikatakan Rosihan, juga diduduki oleh pejabat
dan panitia yang eselonnya lebih rendah.
Dan Presiden, ketika menerima tanganku, sama ramahnya seperti kepada
orang-orang yang mengenakan
jas. Bahkan aku rasa aku lebih.
Karena Presiden menepuk-nepuk tanganku dengan tangan kirinya. Cara yang tidak
dilakukannya kepada peserta lain.
"Istimewa sekali
Presiden pada bung. Ada
apa?" kata Rosihan setelah
kami di luar ruangan itu.
Mana aku bisa tahu apa yang
terkandung dalam hati Presiden. Lalu saya jawab saja sekenanya: "Barangkali Presiden
bersimpati karena aku satu-satunya
yang memakai batik buatan dalam
negeri. Atau...."
"Atau apa?"
"Mungkin Presiden memberi isyarat pada ajudan: Perhatikan betul orang ini."
"Isyarat yang baik, kalau
begitu." kata Rosihan pula.
Hampir tengah malam Zaim muncul di ambang pintu kamar hotel. Wajahnya alangkah cerianya.
Tangan kananku digenggamnya dengan kedua belah tangannya, lalu diciumnya. Aku merasa rikuh
sekali, selain karena tidak biasa juga
tidak suka mendapat perlakuan
seperti itu. Apalagi dari sesama
seniman. Lalu katanya: "Berkat
pertolongan Bapak, terkabullah doa saya.
Ketemu Presiden."
"Bagaimana dengan
jasnya?" tanyaku tanpa tahu apa
yang harus aku katakan menyambut kegembiraannya.
"Tidak jadi aku jual, Pak.
Ini jas keramat. Masa dijual. Akan aku
simpan baik-baik." katanya. Setelah diam
seketika dia berkata lagi. "Uang Bapak nanti aku bayar kalau lumsum
sudah diterima. Boleh 'kan, Pak?"
Oleh karena begitu kata Zaim, aku akan tidak
bisa keluar hotel sampai kongres selesai dengan sisa
uang dalam kantong. Aku tidak menjawab.
Namun dalam hatiku hanya bisa berkata:
"Zaim. Zaim."
Kayutanam, 6 Maret 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar