Bu Geni di Bulan Desember
Cerpen
Arswendo Atmowiloto (Kompas, 20 Mei 2012)
BAGI Bu
Geni, semua bulan adalah Desember. Bulan lalu, sekarang ini, atau bulan depan
berarti Desember. Maka kalau berhubungan dengannya, lebih baik tidak berpatokan
kepada tanggal, melainkan hari. Kalau mengundang bilang saja Jumat dua Jumat
lagi. Kalau mengatakan tanggal 17, bisa repot. Karena tanggal 17 belum tentu
jatuh hari Jumat. Kalau memesan tanggal 17, bisa-bisa Bu Geni tidak datang
sesuai hari yang dijanjikan.
Masalahnya
banyak sekali yang berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin
mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin.
Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah
banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni.
Menurut
yang sudah-sudah, Bu Geni bukan perias biasa. Beliau mampu mengubah calon
pengantin perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga benar-benar manglingi, tak dikenali lagi. Salah satu keistimewaan beliau
adalah menyemburkan asap rokok ke wajah calon pengantin. Menurut tradisi,
katanya ini disembagani, dijadikan seperti kulit tembaga. Bukan emas. Hampir
semua perias pengantin memakai cara yang sama, namun tak ada yang menyamai
kelebihannya. Pernah dalam satu hajatan, tuan rumah pingsan karena disangka
anak perempuan yang dinikahkan kabur. Ibu calon pengantin pingsan, bapak calon
pengantin malu, dan sanak saudara mulai mencari ke teman-temannya. Padahal,
sang calon pengantin ada di rumah. Bahkan setelah ditemukan, ibu calon pengantin
masih menolak: “Itu bukan anak saya. Itu bukan anak saya.”
“Ya
sudah kalau bukan anakmu, berarti anakku. Ayo kita pulang.”
Baru
kemudian ibu calon pengantin sadar, dan mengatakan: “Bagaimana mungkin anakku
bisa secantik ini?”
Padahal
Bu Geni tidak selalu menyenangkan. Suara keras, dan membuat pendengarnya panas.
“Ini anak sudah hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak,
bisa hamil itu anugerah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan
kain. Itu kan anak kamu sendiri.”
Kalau
tak salah, kejadian itu berlangsung di rumah Pak Bupati. Sehingga, kabar
menyebar dan masih tergema, jauh setelah peristiwa itu usai. Pernah pula nyaris
menggagalkan upacara perkawinan hanya karena Bu Geni melihat wajah calon
pengantin suram. Biasanya dua atau tiga hari sebelumnya, Bu Geni memerlukan
bertemu langsung dengan calon pengantin perempuan. Kenapa bukan dengan calon
pengantin laki-laki? “Lho kan nasib dia berasal dari sini.”
Sewaktu
ketemu calon yang dianggap berwajah muram, Bu Geni berkata: “Tak bisa, kamu
harus ceria dulu.” Padahal, undangan sudah disebar. Tempat resepsi sudah diberi
uang muka. Yang lebih penting lagi, makanan sudah dipersiapkan. Kisah ini
menjadi biasa kalau berakhir dengan pembatalan. Yang tak biasa adalah dua hari
kemudian ada bis terjun ke jurang. Menurut perhitungan, kalau benar perkawinan
diadakan tanpa pembatalan, kemungkinan besar calon pengantin pria masuk jurang,
karena memang rencananya naik bis itu pada jam itu. Kisah Bu Geni bersambung
ketika diminta merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab:
“Anaknya suruh ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang
dirugikan.”
Pada
tanggal 17 Agustus kemarin, warga sekitar kediamannya menunggu, apakah Bu Geni
akan memasang bendera merah putih di rumahnya. Karena dalam perhitungan Bu Geni
itu sama dengan 17 Agustus. Ternyata Bu Geni menyuruh pasang. “Apa salah kalau
mengibarkan bendera tanggal 17 Desember?”
Para
pejabat di desa ikut gembira, karena kalau Bu Geni tidak mengibarkan bendera
pada peringatan kemerdekaan bisa jadi masalah. Tanggal 31 Desember berikutnya
Bu Geni tidak berkeberatan ada pesta di rumahnya. Namun esok harinya tidak
berarti tahun baru, melainkan 1 Desember lagi. Banyak yang mengatakan itu ngelmu Bu Geni sehingga selalu tampak muda. Dan Bu Geni
memang selalu nampak sama, ketika seorang tetangga dirias, sampai anaknya
dirias juga. Wajah dan penampilannya tetap sama. Ini bisa dibuktikan dengan
potret yang diambil saat itu, dan 20 tahun berikutnya. Atau mungkin juga 20
tahun sebelumnya.
“Perkawinan
adalah upacara yang paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Kalian semua
ribut memperhitungkan hari baik, pakaian seragam apa, dan itu tak ada
hubungannya dengan perkawinan itu sendiri. Lihat saja mereka yang pidato saat
perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak
didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan.” Agak aneh juga
perkataan itu keluar dari Bu Geni, yang hidupnya justru dari adanya upacara
perkawinan. “Ya memang aneh, perkawinan kan keanehan. Karena yang aneh dianggap
wajar, maka yang tidak menikah, yang janda atau duda, malah dianggap aneh.”
Pada
kesempatan berbeda, Bu Geni berkata: “Jodoh adalah kata yang aneh untuk
menyembunyikan ketakutan atau hal yang tak berani kita jawab. O, itu jodoh
saya, biasanya orang bilang begitu. Atau kalau gagal, o, itu bukan jodoh saya.”
Lalu Bu Geni tertawa lama sekali. “Memangnya jodoh saya Pak Geni? Karena saya
menikah dengan Pak Geni, itu jadi jodoh saya. Bukan karena jodoh saya Pak Geni
kemudian saya menikah dengan dia. Lain kalau saya tidak jadi menikah dengan Pak
Geni dulunya. Itu bukan jodoh saya.”
Kenapa
dulu kawin dengan Pak Geni?
“Ya
karena sudah waktunya kawin, seperti yang lain.”
Berarti
tidak atas dasar cinta ketika menikah dengan Pak Geni?
“Seperti
halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih
penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang
kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”
Pertanyaan
itu terlontar, karena ada kabar Pak Geni akan menikah lagi. “Ya biar saja,
nanti aku akan merias pengantinnya.” Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa
emosi. “Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.”
Mungkin
itu sebabnya Bu Geni tetap bersedia merias calon pengantin yang akan menjadi
istri kedua, atau ketiga. “Biarlah orang merasakan kegembiraan sekali dalam
hidupnya.” Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. “Kalau saat
kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang
lain.”
Menurut
Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah
keberhasilan. “Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan,
itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit
kebodohan.”
Apakah
Bu Geni pernah berpikir bercerai dengan Pak Geni.
“Saya
tak pernah memikirkan bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering.”
Begitulah
Bu Geni yang juru rias pengantin, telah merias semua perempuan di desanya.
Boleh dikatakan semuanya yang kawin dan yang tidak. Yang terakhir ini dilakukan
Bu Geni pada mayat perempuan yang meninggal sebelum menikah. Sebelum
dikuburkan, Bu Geni merias dengan komplet. Banyak yang tidak setuju, banyak
yang menyayangkan, banyak yang menjadi takut dirias. “Ketakutan terwujud pada
perkawinan. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat, makanya kita
mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak mengatur tanggung jawab, mengatur
kewajiban. Termasuk memberi nafkah, membesarkan anak-anak. Aneh saja, tapi pada
dasarnya kita takut dengan kebahagiaan diri kita sendiri, dan membatasi dengan
adanya kuasa Tuhan.”
Meskipun
mengatakan bahwa penemuan manusia yang paling membelenggu dan menakutkan adalah
perkawinan, Bu Geni masih terus merias dengan mengepulkan asap rokok. Bagi
seorang yang mampu menciptakan waktu untuk diri sendiri—meskipun masih terikat
pada bulan Desember, Bu Geni bisa merias manusia, mayat, juga pernah merias
patung pengantin dan pepohonan juga kerbau. Bu Geni juga memberi sembaga, sama seriusnya dengan berpuasa sebelum merias.
“Biarkan kerbau merasakan kegembiraan. Sebagaimana yang kita percayai selama
ini bahwa perkawinan adalah kegembiraan.”
Semua
ini, untunglah hanya terjadi pada bulan Desember. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar