Topi
Helm
Cerpen AA Navis
Terjunjungnya topi helm di atas
kepala Tuan O.M. menjamin kelancaran kerja di bengkel kereta api di kota kecil
Padang Panjang. Meskipun Tuan O.M. itu pendek, tapi oleh topinya yang besar
itu, tersandang jugalah wibawanya sebagai opseter mesin di bengkel itu. Dan
oleh bawahannya di lengketkan julukan Si Topi Helm atas Tuan O.M. yang oleh
ayahnya sendiri dinamai Gunarso. Malah pakai R.M. pula di depannya sebab
turunannya.
Demikian besar wibawanya. Hingga
kalau sekelompok orang mengobrol selagi kerja di bengkel itu, lalu di antaranya
membisikkan: "Sssst. Si Topi Helm," maka berjungkir baliklah mereka
bekerja dengan tekunnya. Kadangkala ini menjadi olok-olok. Misalnya sekelompok
orang mengobrol, lalu seseorang menyebut Si Topi Helm dengan tiba-tiba,
tunggang langganglah mereka ke tempat kerjanya kembali. Dan pura-pura asyiklah
mereka bekerja, seolah-olah mereka sejak dari tadi benar-benar bekerja. Tapi
tahu-tahu kedengaranlah tawa terbahak-bahak. Maka tahulah mereka bahwa ada yang
berolok-olok dan mereka telah tertipu.
Karena seringnya olok-olok
demikian dilakukan, akhirnya orang selalu curiga akan bisikan "sssst, Si
Topi Helm."
Tapi pada suatu hari olok-olok
itu menyebabkan seorang masinis turun pangkat jadi stoker kembali. Biasanya
untuk membersihkan bagian bawah dari sebuah lok kereta api hanya dilakukan oleh
dua orang saja. Lok itu berdiri di atas sebuah lobang yang panjang, hingga
orang-orang dapat bekerja tegak untuk membersihkan di sebelah bawahnya. Tapi
masinis, yang badannya besar hingga di panggil "Kingkong" oleh buruh
lainnya, setelah masuk ke lubang itu untuk memeriksa, ia tidak keluar lagi. Ia
mengobrol dulu memenuhi kebiasaannya. Obrolannya makin lama kian enak, sehingga
mereka tertawa kesenangan. Dan…. memeriksa, ia mendengar betapa meriahnya
suasana dalam lubang di bawah lok itu, orang-orang lain yang sedang bekerja di
bagian lain lok itu ikut pula masuk ke lubang itu.
Sedang si masinis asyik mengobrol
dengan segala geraknya yang lucu,tanpa setahunya Tuan O.M. sudah ada dekat lok
yang sedang di bersihkan itu. Didengarnya saja obrolan bawahannya itu
diam-diam. Tiba-tiba salah seorang di antara orang-orang yang di dalam lubang
itu melihat sepatu dan celana coklat Tuan O.M. dari celah-celah jari-jari roda
lok, lalu dengan ketakutan dia berbisik, "Sssst Si Topi Helm."
Serentak rubu rubai, antara percaya dan tidak mereka sepura asyik bekerja. Ada
yang membersihkan roda, ada yang membersihkan as, malah diantaranya ada yang
mengetok apa saja yang dirasanya patut diketok. Tapi masinis melihat betapa
takutnya orang-orang oleh bisikan yang berbisa itu, jadi tertawa terbahak-bahak
sendiri. Lucu benar dianggapnya tingkah laku mereka itu.
"Hm. Apa yang kalian
takutkan? Si Topi Helm?" Ia mengejek. " Apa pula yang ditakutkan pada
si pendek itu. Patutnya padaku kalian takut, Si Kingkong ini. Tidak pada Si
Topi Helm yang pendek seperti kera itu kalian takut. Puahhh. Kalau sekarang ada
Si Topi Helm itu di sini, aku patahkan lehernya. Seperti kingkong mematahkan
leher kera tentunya. Ha ha haaa. Kalian benar-benar, ada saja seseorang
berkata: 'Sssst Si Topi Helm', waaahhh kecutlah ekor kalian seperti anjing
ketemu singa. Adukan sama Kingkong, Kawan. Adukan sss..."
Ia tak jadi menyudahkan
kalimatnya. Karena tiba-tiba didengarnya orang mendehem. Dan dehem itu
dikenalnya. Lalu diintipnya dari antara roda-roda lok ke arah datangnya dehem
itu. Terbitlah kecutnya. Hilanglah segala omongannya yang besar tadi. Tak
seorang pun yang berani ketawa, meski seharusnya mereka bisa ketawa melihat
betapa kecutnya kingkong melihat kera. Belum sampai sempat masinis itu
berpikir, Tuan O.M. sudah pergi dari situ. Maka seorang demi seorang keluarlah
dari bawah lubang itu. Kembali ke tempat kerja masing-masing. Selagi belum
sempat masinis melenyapkan rasa kuyu di hatinya, datanglah panggilan dari Tuan
O.M. untuknya. Dan Si Kingkong itu kini merasa telah menjadi kera.
Demikianlah kisahnya. Tapi
semenjak itu Tuan O.M. tidak lagi memakai helmnya. Entah karena topi itu sudah
tua, entah karena ia sudah tahu orang-orang mengejeknya dengan topi helm yang
besar itu, tidak seorang pun yang tahu.
Namun setahun kemudian topi helm
itu tidak punya wibawa benar-benar lagi. Yaitu semenjak kepala Pak Kari yang
menjunjungnya. Di waktu topi helm itu berpindah kepala, sebenarnya terjadilah
peristiwa penting atas keluarga Tuan O.M. Topi itu tiga tahun yang lalu
dibelinya di Semarang, ketika ia dipindahkan ke kota kecil Padang Panjang. Kota
penghujan itu menjadikan topi itu lekas tua. Dan untuk penggantinya di kota itu
tidak mungkin, karena tidak ada orang jual. Meski topi helm itu telah tinggal
tergantung di kapstok di rumahnya, namun julukan "Si Topi Helm" masih
juga lengket pada Tuan O.M. sampai ia dipindahkan ke Bandung.
Pada waktu buruh bengkel kereta
api yang dikerahkan R.M. Gunarso sibuk mengepak perabotan rumah yang akan
dibawa pindah, topi helm yang tua itu sampai terlupakan. Barulah ketika rumah
itu sudah kosong, Nyonya Gunarso melotot melihat sang topi tergantung sendiri
pada paku di dinding.
"Kenapa ini bisa kelupaan,
Pap?" tanya perempuan itu. "Kaupakai sajalah, ya. Sayang kan kalau
dibuang."
"Ah, jangan, ah. Masa
pembesar bawa topi begini ke kapal. Malu, ah. Mam."
"Habis? Mau dibikin apa?
Semua barang-barang sudah dimasukkan ke peti. Dan peti-peti sudah diangkut ke
stasiun."
Dan mata Tuan O.M. melirik kepada
bawahannya yang telah membantu mengepak barang-barangnya. Semua ia kenal baik,
yakni para tukang rem. Kepada siapa harus diberikan supaya adil, pikirnya. Ia
ragu-ragu menetapkan. Tapi ketika matanya tertumbuk kepada Pak Kari, sesuatu
pada jantung orang tua itu terasa bergetar.
"Daripada dibuang, Mam, apa
tidak sebaiknya kalau diberikan kepada mereka saja?" kata Tuan O.M. minta
musyawarah istrinya.
Dan Pak Kari menatap mata
perempuan itu dengan nanap, seperti ada suatu perjanjian antara mereka, bahwa
topi itu seharusnya buat dia diberikan perempuan itu.
Tapi perempuan itu berkata,
"Coba dulu siapa yang pas betul."
Tuan O.M. mengedarkan pandangan
ke semua bawahannya seorang demi seorang, sehingga para tukang rem itu
berdegupan darahnya oleh harapan bakal mendapat topi helm itu. Akhirnya
masing-masing mencobakan topi itu di kepala mereka berganti-ganti. Dan
kebetulan, ya kebetulan sekali, Pak Kari yang sama pendeknya dengan Tuan O.M.
memiliki kepala yang sama besarnya pula, sehingga topi helm itu haknya.
Sedang Pak Kari nyengar-nyengir
kegirangan oleh rezekinya itu, tiba-tiba perempuan itu berkata, " Ah,
Kari. Gagah betul kau. Tapi jangan berlagak lakiku pula kau."
Di antara suara tertawaan, Pak
Kari merasa badannya terlambung setinggi rumah dan membesar seperti gajah. Dan
bagaimana hematnya Tuan O.M. dengan helmnya, lebih lagi Pak Kari, si tukang rem
itu. Ia tak tega membiarkan topinya kena hujan setitik pun. Betapa bangganya
kalau topi itu di kepalanya, demikian pula besar sayangnya kepada helmnya.
Sering ia tersenyum sendirian bila melihat wajahnya pada kaca pajangan toko
yang dilewatinya saban pergi dan pulang kerja. Dan tentu saja tingkah laku Pak
Kari yang berlebih-lebihan itu menjadi bahan olok-olok oleh kawan sekerja. Tapi
juga jadi pangkal kejengkelan atasannya. Namun Pak Kari berpendapat olok-olok
atau kejengkelan itu adalah disebabkan rasa iri hati mereka karena tak punya
topi helm warisan Tuan O.M.
Akan tetapi semenjak Pak Kari
menjadi pemilik baru topi helm yang besar itu ia pun mendapat julukan. Bukan Si
Topi Helm sebagaimana yang ditonggokkan kepada Tuan O.M., melainkan ia mendapat
nama julukan Si Gunarso. Berbeda dengan Tuan O.M. yang tidak menyenangi nama
julukan yang diberikan orang dengan Si Topi Helm, Pak Kari malah merasa bahagia
dipanggil Si Gunarso. Bahkan kadang-kadang ia benar-benar merasakan dirinya
sebagai Gunarso. Gunarso yang pendek dan punya wibawa begitu ideal dalam
pandangan Pak Kari yang bertubuh sama pendeknya pula.
Pak Kari adalah tukang rem
semenjak delapan belas tahun lalu. Sebelum itu dia hanya seorang penganggur
yang hampir putus asa dalam mencari pekerjaan. Dan ia tahu benar apa artinya
menjadi tukang rem di kala itu. Bangun pagi-pagi dan sebelum jam lima sudah
mesti berada di stasiun. Pulangnya kadang-kadang sudah jam sembilan malam.
Namun dibandingkan dengan orang-orang lain, yang tidak mempunyai pekerjaan apa
pun, ia sudah merasa bahagia. Akan tetapi karena potongan badannya yang kecil
kurus menjadikannya lebih merasa kecil diri dalam pergaulan dengan
tukang-tukang rem lainnya. Dan karena itu dari dirinya dituntut kesabaran yang
kadang-kadang sampai di luar kemampuannya sebagai manusia. Lebih lagi semenjak
ia mempunyai topi helm, kesabarannya sering kali mendapat tantangan yang sangat
tengik.
Padang Panjang kota kecil yang
penghujan. Selama belum bertopi helm, Pak Kari tak pandai menyumpahi hujan.
Akan tetapi kini ia sudah sering menyumpahinya, karena hujan itu memaksanya
tidak dapat memakai topi di kepala menurut selayaknya. Selain dari hujan, dari
kawannya sendiri sering pula ia mendapat gangguan. Umpamanya selagi ia sedang
sembahyang, ada saja kawannya yang menyembunyikan topi helmnya. Sehingga ia
mencari-cari dengan perasaan sedih dan dongkol sampai topi helmnya bisa
ditemukan. Susahnya kawan-kawannya tahu, Pak Kari bergeming selagi sembahyang
meski ia tahu topinya diambil orang untuk disembunyikan. Sungguhpun demikian
kawan-kawannya lebih suka menggodanya selagi sembahyang itu. Dan ketika seluruh
tukang rem mendapat topi dinas model topi petani di Jawa, Pak Kari merasa bahwa
pimpinan perusahaan kereta api telah ikut iri hati karena ia mempunyai topi
helm itu. Namun ia tetap berkeras kepala tak hendak memakai topi dinas itu.
Barulah ketika sepnya mengancam hendak memberhentikannya, Pak Kari menerima
kalah. Maka tinggallah topi helmnya di rumah, tergantung di dinding pada paku.
Setiap pagi hendak pergi kerja topi itulah yang terakhir dipandangnya seolah
hendak mengatakan "selamat tinggal". Dan setiap pulang kerja topi itu
pula yang pertama dilihatnya seolah hendak mengatakan "selamat ketemu
lagi". Dan bila hari perainya topi helm itu kembali berada di kepalanya
dan dengan bangga dibawanya berjalan-jalan keliling kota.
Beruntunglah Pak Kari karena
kewajiban memakai topi dinas model petani itu tidak lama berlangsung. Meski
topi itu sangat berguna untuk melindungi kepala dari terik matahari dan guyuran
hujan. Akan tetapi topi itu tidak praktis dipakai oleh tukang rem di daerah
pegunungan, yang seringkali memeriksa roda apakah masih berputar atau terhenti
karena dicekam rem pada waktu kereta api meluncur di penurunan. Karena kalau
rel yang licin di kala hujan, roda gerbong yang terlalu kuat dicekam rem akan
terhenti berputar, namun kereta api terus meluncur juga, akan bisa menyebabkan
gerbong terlepas dari rel bila tiba di tikungan. Akan tetapi bila gerbong tidak
direm, kereta api akan kian kencang meluncur. Dan itu akan lebih berbahaya
lagi. Oleh karena itulah tukang rem harus sering-sering melihat keadaan roda.
Caranya ialah berjongkok di tangga gerbong, tangan bergayut pada pegangan besi
di tangga, lalu merendahkan kepala sehingga badan dan kepalanya itu berada di
luar bidang gerbong. Pada saat seperti itulah topi dinas terlepas dari kepala
tukang rem itu. Atau kalau diletakkan saja pada lantai bordes di kala hendak
melihat keadaan roda, topi itu akan sering diterbangkan angin. Sehingga
banyaklah tukang rem yang kehilangan topinya. Dan sejak itulah tukang rem tidak
lagi wajib mengenakan topi dinasnya. Konon ketika tukang rem pertama yang
kehilangan topinya tidak dikenakan sanksi oleh sep mereka, maka Pak Kari
buru-buru kehilangan topinya pula dengan melemparkannya pada saat yang tepat.
Dan sejak itu, topi helm kembali menghiasi kepala Pak Kari. Pak Kari yang
penyabar seolah mendapat kemenangan dan harga dirinya kembali.
Lambat laun kemenangan Pak Kari
tiba juga di puncaknya setelah ia melepaskan kesabarannya yang terkenal itu.
Dengan puncak kemenangannya itu, martabat topi helmnya menjadi senilai dengan
masa Tuan O.M. memakainya dulu.
Kejadiannya ketika Pak Kari
dengan beberapa tukang rem lainnya dalam perjalanan bede dari Kayutanam ke
Padang Panjang. Jalan kereta api menanjak menyusuri dinding bukit di Lembah
Anai. Pada waktu itu, hanya sepertiga dari jumlah tukang rem yang berdinas.
Lain halnya jika kereta api yang menjalani rel yang menurun dari Padang Panjang
ke Kayutanam yang memerlukan seorang tukang rem pada setiap gerbong. Maka
ketika kembali ke Padang Panjang, dua pertiga dari jumlah tukang rem menjadi
bede itu umumnya mengisi gerbong penumpang kelas tiga, kalau memang gerbong itu
tidak banyak penumpangnya. Banyak di antaranya yang duduk tertidur. Tapi ada
kalanya juga mereka sempat tidur berbaring di bangku panjang.
Pak Kari di kala itu dapat tidur
membujur pada bangku panjang di bagian tengah. Topi helmnya menutup mukanya.
Dalam tidurnya ia bermimpi, bahwa ia benar-benar telah jadi Tuan O.M. Berwibawa
dan ditakuti oleh semua bawahannya. Ketika ia pulang kerja, alangkah kaget
istrinya melihat Pak Kari telah jadi O.M. Dan dalam mimpinya itu juga, rasanya
istrinya persis menyerupai Nyonya Gunarso yang cantik. Maka dipeluknya istrinya
itu kuat-kuat. Tapi ketika ia memeluk badannya miring dan jatuhlah topinya ke
lantai gerbong.
Persis ketika itu, lewatlah
seorang tukang rem lainnya. Dan seolah tak sengaja tersepaklah topi helm itu.
Dan Pak Kari yang sudah tersentak bangun melihat topinya melayang. Diburunya
topi itu. Tapi topi itu jatuh menimpa pangkuan tukang rem yang sedang tertidur
di sudut gerbong. Ia terbangun. Secara refleks ia melemparkan topi itu. Jatuh
ke tangan seseorang setelah melalui kepala Pak Kari yang memburu. Pak Kari
balik mengejar. Tapi topi itu terbang ke tangan lain. Dan terus berpindah dari
seorang ke yang lain setiap Pak Kari memburunya. Kegembiraan pun bangkitlah.
Tukang rem yang tertidur pun bangun, demikian juga penumpang. Semua tertawa dan
bersorak-sorak kegirangan. Tapi Pak Kari tidak. Malah marahnya bangkit keluar
dari endapan kesabarannya yang terkenal. Dicabutnya pisaunya. Dan dia mengancam
siapa saja yang berani menghina topi helmnya.
Maka semenjak itu topi helm itu
punya kewibawaan lagi. Tak seorang pun yang berani mempermainkan topi helmnya.
Menjadi kalap ada perlunya juga untuk menghentikan keberanian orang-orang yang
perkasa, pikir Pak Kari lama kemudian setelah ia sadar bahwa kawan- kawannya
tak lagi mau menggoda ia dan topi helmnya.
Akan tetapi pada suatu hari yang
tak baik baginya, Pak Kari dinas pagi lagi dengan kereta api pertama ke
Kayutanam. Ia mendapat tempat pada gerbong terakhir. Sedangkan hujan terus
turun semenjak tengah malam. Pagi itu masih meninggalkan renyainya, hingga rel
baja yang keras itu menjadi licin sekali. Itu artinya setiap tukang rem yang
menempaati setiap gerbong harus bekerja lebih hati-hati. Dan peluitlok
sering-sering dibunyikan masinis bila dirasakannya kereta berjalan melebihi
kekencangan yang diperlukan, agar setiap tukang rem lebih mengeratkan remnya.
Gerbong Pak Kari baru saja mendapat tukaran bantalan rem yang baru, sehingga
sedikit saja handel rem ditekannya telah menyebabkan roda-roda berbunyi seperti
suara tikus mencicit. Dan Pak Kari harus melihat keadaan roda dengan
bergantungan di tangga gerbong, untuk mengetahui apakah bunyi tiu karena
pergeseran rem dengan roda atau karena pergeseran roda dengan rel. Jika bunyi
itu ditimbulkan oleh pergeseran roda dengan rel, itu artinya roda sudah
berhenti berputar. Bisa-bisa pada suatu tikungan yang tajam, roda itu keluar
dari rel. Dan itu berbahaya sekali. Kalau roda berhenti berputar, rem mesti
dilonggarkan sedikit. Kalau masih berbunyi harus dilihat lagi keadaannya.
Begitulah ia lakukan berulang-ulang pada setiap peluit lok dibunyikan masinis.
Peluit lok terus juga berbunyi
pendek-pendek untuk memberi peringatan agar rem setiap gerbong lebih
dikencangkan. Pak Kari mengikuti perintah itu. Rem di tekan lebih kencang. Tapi
rodannya bercicit bunyinya. Lalu ia melihat dengan berjongkok di tangga
gerbong. Biasanya ia bergayut dengan punggung ke arah luar gerbong, tapi kali
ini ia bergayut dengan menggunakan sebelah tangannya agar ia dapat lebih jelas
melihat roda di pagi yang masih remang-remang itu. Dan tiba-tiba ia sadar bahwa
kereta api sedang memasuki jembatan yang berpelengkung. Lalu ia menarik
badannya agar tidak disambar pelengkung itu ...
Barulah ketika kereta api sudah
sampai di stasiun kecil di desa Kandang Ampat, orang tahu bahwa Pak Kari tidak
lagi di tempatnya. Seorang tukang rem mengatakan, bahwa saat terakhir ia
melihat Pak Kari ketika kereta api akan menempuh jembatan berpelengkung setelah
air mancur terlewati. Ia melihat Pak Kari berjongkok sambil bergayut dengan
sebelah tangannya. Bergalaulah suasana setelah mendengar penjelasan tukang rem
itu. Ingatan orang kembali pada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Seorang
tukang rem disambar pelengkung jembatan itu pada kepalanya ketika
berjongkok-jongkok melihati keadaan roda. Persis seperti yang dilakukan Pak
Kari di jembatan itu juga. Dan tukang rem itu, Si Buyung, akhirnya ditemui
sejauh satu kilometer di hilir Batang Anai. Tersekat pada sebuah batu besar.
Tak bernyawa lagi.
Dan masinis yang memegang
pimpinan kereta api batu bara itu mengambil putusan untuk membawa lok dan
sebuah gerbong kembali ke arah jembatan yang dikira telah mencelakakan Pak
Kari. Beberapa tukang rem dibawa untuk mengawasi Batang Anai yang mengalir sejajar
rel kereta api itu dan akan membantu mengangkat Pak Kari yang mungkin telah
jadi mayat seperti Si Buyung beberapa tahun yang lalu. Di sepanjang jalan tak
putus-putusnya peluit lok dibunyikan. Siapa tahu kalau-kalau Pak Kari bisa
mendengarnya, pikir masinis itu. Dan setiap mata tertuju ke batang air yang
airnya mengalir deras, berbuih-buih, dan menderu bunyinya. Terasa ada kesukaran
jika hanya mencari dengan mata; karena hari masih gelap oleh sebab sinar
matahari belum lagi menembus celahbukit di balik bertimbal batang air itu.
Sekilometer menjelang jembatan
yang disangkakan itu, ditemuilah Pak Kari. Badannya kuyup dan jalannya gontai
menginjaki bantalan besi demi bantalan besi rel kereta api. Dan seperti
dikomandoi saja, semua tukang rem memaki dan bercarut-carut ke arah Pak Kari.
Sedang masinis bukan kepalang meradangnya. Dipanggilnya Pak Kari ke loknya.
"Mengapa jadi begini?
Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan kejadian ini?" hardik masinis.
Pak Kari diam saja. Kepalanya
ditekurkannya, seolah hendak mengatakan bahwa ia mengaku salah.
"Kalau kau mati seperti Si
Buyung dulu, bisalah aku mempertanggungjawabkan kejadian ini. Tapi kau tidak
mati. Kenapa kau hidup? Kenapa tidak mati saja?"
Pak Kari masih diam.
"Oi. Jawablah. Kenapa kau
tak mati saja?"
Tak juga ia menjawab.
"Aku tak senang. Kau mesti
dipecat," kata masinis itu lagi.
Muka Pak Kari yang pucat dan
menggigil kedinginan kian pasi dan tambah gemetar mendengar kata masinis yang
mau memecatnya. Ia mau memberi keterangan. Tapi lidahnya kelu. Ia tetap menekur
juga.
"Jawablah. Kenapa
kautinggalkan gerbongmu?" kata masinis lagi dengan nada yang lebih tinggi.
"Topi saya….. topi saya
jatuh. Di ...di….. dilanggar je... je... jembatan," kata Pak Kari gagap.
"Oo, karena topi ini jatuh,
kau tinggalkan gerbongmu, he? Karena topi ini saja? Karena topi ini saja aku
terpaksa mendorong kereta ini kembali? Kenapa topi ini saja yang jatuh? Kenapa
kau tidak? Bagus benar kelakuanmu," kata masinis itu lagi seraya memandangi
topi helm yang lengket di kepala Pak Kari. Tiba-tiba direnggutnya topi itu
hingga terlepas dari kepala pemiliknya. Karena topi ini, topi pusaka Si Topi
Helm ini saja, kaurusak dinasku. Hebat benar topimu."
Pak Kari ragu-ragu untuk
melakukan sesuatu.
"Oh, basah benar topimu itu.
Kasihan, ya?" kata masinis itu selanjutnya.
"Ya, Pak. Jatuh masuk
sungai. Untunglah tidak jatuh ke tengah. Untunglah di tepi saja," kata Pak
Kari yang mulai sedikit lega karena kata-kata simpati masinis itu.
"Kasihan sekali," kata
masinis itu mengulangi kata-katanya seraya menggeleng-gelengkan kepala seperti
orang terharu sangat. Sedangkan lidahnya berdecak-decak. "Kena air topi
ini basah. Kena api bagaimana?" Serentak dengan itu dibukanya pintu api
lok itu, dan secepat itu pula dilemparkannya topi helm itu ke dalam api yang
sedang nyala. Lalu dia memandang pada Pak Kari yang terkejut melihat peristiwa
yang tak disangkanya itu. "Ah, topi biasa saja topimu itu, Kari. Kena air
basah. Kena api hangus juga."
Pak Kari yang kekuyupan pada pagi
hari di lembah pegunungan itu, tidak merasa dingin lagi dengan tiba-tiba. Ia
merasa begitu panasnya oleh bakaran api di dalam dadanya. Perbuatan memanggang
topi helmnya itu tidak dapat dimaafkannya begitu saja. Tapi ketika itu ia tidak
tahu bagaimana melampiaskan sakit hatinya. Maka ia diam saja, seperti biasa ia
menunjukkan kesabarannya yang terkenal itu.
Dan sebelum Pak Kari sadar pada
apa yang tengah terjadi atas dirinya, masinis telah menghardiknya lagi,
"Ayo, pergi kau, Babi!"
Hari datang hari pergi. Semua
orang sudah lupa pada peristiwa topi helm Pak Kari. Malah orang pun lupa sudah
bahwa pada suatu kali Pak Kari pernah menjunjung topi helmnya Tuan O.M., Tuan
O.M. yang ditakuti mereka. Orang juga lupa, oleh topi helm itu Pak Kari pernah
hendak mengamuk, bahwa Pak Kari pernah meninggalkan gerbongnya karena topi
helmnya jatuh dilanggar pelengkung jembatan sehingga orang menyangka Pak
Karilah yang terlanggar dan jatuh ke batang air seperti Si Buyung pada masa
lalu. Andaikata sesekali orang ingat kembali, segera orang melupakannya lagi.
Akan tetapi sekali hari, ketika
Pak Kari sedang bekerja mengeruk-ngeruk tahi arang dari lambung lok di stasiun
Kayutanam, tiba-tiba ia melihat seorang mandor jalan kereta api. Mandor itu
memakai topi helm. Topi helm yang persis sama dengan topi helmnya. Topi helm
yang terbakar hangus dalam tungku api di lambung lok itu juga. Dan ketika
matanya mengalih ke dalam tungku api di lambung lok, di mana apinya sedang
garang menyala, Pak Kari seperti melihat topi helmnya yang dulu lagi.
Menari-nari oleh nyala api. Dan kemudian seperti terlihat dirinya di bawah topi
yang menari-nari dalam nyala api itu. Dirinya sendiri yang berwajah setampan
Tuan O.M. jika mengenakan topi helm. Ingat itu, ia pun ingat pada suatu
peristiwa di rumah Tuan O.M.
Ketika itu Pak Kari tidak
berdinas. Perai mingguan. Seperti biasanya, sekali dalam sebulan, ia disuruh
Tuan O.M. ikut membantu membersihkan rumah, halaman, dan ada kalanya juga
mengeping kayu api di rumah sepnya itu. Dalam ia lagi mengeping kayu api hingga
menjadi kecil-kecil, didengarnya teriakan Nyonya Gunarso di kamar mandi. Ia
buru-buru mendapati perempuan itu, yang lagi terhenyak duduk di lantai kamar
mandi sambil mengurut-urut pinggang dan nyengir-nyengir kesakitan. Pak Kari tak
tahu apa yang harus dilakukannya. Lama juga ia tergagap-gagap merumuskan
pikirannya untuk mencari cara memberi bantuan. Tapi ketika perempuan itu
meminta bantuan, Pak Kari menjadi tambah tergagap. Ada perasaan malu yang kuat
sekali dalam dirinya untuk memegang perempuan secantik itu, apalagi perempuan
itu istri sepnya.
Akhirnya setelah keberaniannya
dapat ia kumpulkan, dibantunya perempuan itu untuk berdiri. Tetapi kemudian,
ketika ia memapah dan melingkarkan tangannya ke pinggang perempuan itu di kala
mengantarkan ke kamar tidurnya, Pak Kari merasa bahagia sekali. Bahwa meski ia
seorang yang termasuk kerdil, ia merasa telah ditakdirkan sebagai pahlawan bagi
istri dari sepnya yang juga orang kerdil itu. Pikiran-pikirannya itu, dan
perlakuan yang manis dari istri sepnya ketika mengucapkan terima kasih, lambat
laun menumbuhkan sesuatu yang dirasanya aneh dalam hatinya, perasaan aneh yang
menyenangkan.
Dan topi helm itu, topi yang
diberikan Tuan O.M. kepadanya di kala hendak berpisah dulu, dirasakannya
sebagai suatu perlambang yang bermakna abadi bagi hubungannya dengan Nyonya
Gunarso, hubungan yang tersembunyi, yang begitu indah bila dikenang. Tuhanlah
yang menakdirkan segala-galanya, sehingga justru di kepalanya saja topi helm
itu bisa pas benar dari sebanyak kepala yang mencobanya. Tuan O.M. dengan topi
helmnya itu, bukanlah suatu model manusia yang ditakdirkan untuk jadi bahan
olok-olok semata-mata. Kewibawaan Tuan O.M. taklah akan seperkasa itu bila
tidak memakai topi helm. Topi helm yang tak ubahnya sebagai mahkota Ratu
Wilhelmina. Dan topi helm yang bagai mahkota itu akhirnya jadi kepunyaannya.
Demikianlah lamunan Pak Kari.
Demi ia ingat topi helmnya lagi,
yang telah terbakar habis oleh api dalam tungku di lambung lok yang lagi
dibersihkannya itu, mulailah lagi suatu nyala membakar hati dan pikirannya.
Yaitu api dendam yang takkan pernah terpadamkan sebelum terbalas dengan lunas.
Tiba-tiba ia ingin membalasnya
sekarang. Sekarang juga. Keinginannya itu melupakan dirinya sendiri, bahwa ia
hanyalah seorang kerdil yang tak berdaya yang bertugas menjadi tukang rem pada
jalur kereta api Padang Panjang-Kayutanam saja. Yang ia ingat cuma satu, api
dendamnya kian marak dan kian marak juga. Dan makin kian marak ketika masinis
itu datang memeriksa pekerjaan Pak Kari yang membersihkan tungku api di lambung
lok itu.
Baru saja masinis itu
menggapaikan tangannya untuk berpegang pada gagang pintu lok hendak meningkati
tangga, Pak Kari melemparkan sesodok tahi arang yang berpijar-pijar nyala
apinya keluar pintu lok. Berlonggok menimpa wajah masinis itu. Sesuai menurut
rencana Pak Kari. Dan sejak itu kegelapan dan kebosanan menjalari kehidupan
masinis itu. Adalah jauh lebih ringan apabila ia dapat memandangi wajahnya
lewat kaca.
Lalu Pak Kari memandang ke topi
helm yang bertengger di kepala mandor jalan kereta api itu dengan senyum
kepuasannya, seolah hendak menyatakan kepada topi helmnya, kepada Tuan O.M. dan
istrinya, bahwa pembalasan setimpal telah terlaksanakan.
Namun tidak seorang pun yang
dapat menyalahkan Pak Kari. Dan Pak Kari pun tak pernah merasa bersalah sedikit
pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar