Rekayasa
Sejarah Si Patai
Cerpen AA Navis
Seorang anak kecil
ingusan berlari ke halaman ketika mendengar genderang dipalu di jalan raya.
Peristiwa yang jarang terjadi. Anak kecil itu berlari membawa
badannya yang buntal tanpa baju. Matanya bersinar-sinar memandangi para marsose (pasukan seperti
Kopasus sekarang) berpawai sambil memalu
genderang yang diiringi bunyi trompet bersuara lengking. Kepala anak
kecil itu seperti dihela magnit mengikuti
pawai. Tapi demi melihat
serombongan laki-laki tanpa baju yang
wajah dan tubuhnya berlumur cat
hitam, anak kecil itu merasa
ngeri. Dan ketika melihat sebuah
kepala terpenggal pada ujung tombak yang
digoyang-goyang, hatinya kecut. Memekik-mekik dia memanggil ibunya waktu
berlari kembali ke rumah. Tapi ibunya tidak
ada. Di pojok kamar anak kecil itu terduduk dengan kedua dengkul menopang kepala. Terisak
karena merasa tidak terlindung dari ketakutan. Kepala terpenggal di ujung
tombak, dengan rambut panjang yang
bergelimang darah kering dan
mata yang memutih terbuka lebar, tak putus-putus melintas dalam mata angan anak kecil yang
masih ingusan itu. Lebih dirapatkannya kedua dengkulnya seperti hendak
menyatukan seluruh tubuhnya.
Sampai lama bayangan kepala
terpenggal di ujung tombak masih menimbulkan rasa ngeri pada dirinya. Ketika
anak kecil itu telah menjadi ayah, peristiwa itu diceritakan kepada
anaknya. Anak itu Si Dali namanya. Kemudian Si Dali mengisahkannya kembali kepada seorang
mahasiswa yang mencari hahan untuk skripsi kesarjanaan. Dan
setelah berbulan-bulan meneliti dengan
menanyai banyak orang yang mengaku
mengenal peristiwa itu, hasilnya menjadi suatu kisah sejarah resmi yang dipalsukan.
***
Pada ujung abad ke-19 sampai pada
awal abad ke-20 desa Pauh di pinggir utara kota Padang, menjadi pelintasan pedagang
yang pulang-pergi dari pedalaman Minangkabau
ke kota. Lama kelamaan desa itu menjadi sarang pelarian dari tangkapan pemerintah. Baik yang musuh politik maupun penjahat. Rakyat menyebutnya sebagai sarang orang
bagak dan para pendekar. Aliran silat
pendekar desa itu terkenal kemana-mana. Sehingga banyak orang berlajar ke sana.
Dinamakan sebagai aliran Silat Pauh. Kekuatannya
pada kaki, menyepak, menerjang
dan menungkai.
Polisi selalu was-was memasuki
desa itu. Patroli tentera pun enggan. Banyak sudah korban di pihaknya. Sedangkan musuh yang dicari tidak pernah
dapat.
Seorang pendekar yang paling
disegani, paling ditakuti, Si Patai namanya. Ilmunya banyak, pengikutnya
pun banyak. Menurut cerita yang
tersebar, pada masa itu Si Patai sering keluar masuk kota. Tak seorang pun
berani melapor kepada pemerintah bila
melihatnya. Karena setiap ada yang melapor, selalu saja rumah pelapor kena
rampok malam harinya. Lambat laun, setiap terjadi peristiwa perampokan
atau pembunuhan, dikatakan Si Patai jadi otaknya. Maka Tuanku Laras selalu melapor kepada residen
setiap terjadi peristiwa perampokan itu. Akhirnya Si Patai
dinyatakan musuh nomor satu yang paling
dicari, hidup atau mati.
Kisah sebenarnya yang terjadi, bahwa Si Patai pernah ditangkap karena lawannya berkelahi
terbunuh. Yang terbunuh itu
kebetulan anak Tuanku Laras
yang kalap karena judinya kalah. Selama di penjara Si Patai sering disiksa anak buah Tuanku Laras untuk
melampiaskan dendamnya. Sebaliknya Si Patai banyak pula berguru berbagai ilmu
pada sesama tahanan dari Bugis dan Banten. Ketika ilmunya dirasa sudah
cukup, Si Patai meloloskan diri dari
penjara. Dia bersembunyi di Pauh.
Bergabung dengan mereka yang memusuhi pemerintah. Lambat laun Si Patai
yang menjadi pemimpin. Setiap usaha menangkapnya selalu gagal.
***
Pada waktu sebelum kedatangan Si Patai, di
Pauh sudah ada seorang banci bernama Patai. Nama aslinya Ujang. Dengan
nama julukannya dia dipanggil Ujang Patai. Pengecutnya bukan kepalang. Bila ada patroli
tentera, dia yang lebih dulu berhamburan
lari. Terbirit-birit atau berpetai-petai
tahinya diwaktu lari.
Menurut logat desa
itu, tahinya bapatai-patai. Sejak
itulah dia memperoleh nama julukan Ujang Patai.
Nah, karena nama dengan julukan yang sama dari
kedua orang itu, bila ada patroli mencari Si Patai, semua orang menunjuk si
Ujang Patai orangnya. Maka selalu
dia yang ditangkap dan dibawa ke penjara. Tapi tak lama
kemudian dia dilepaskan lagi, karena bukan dia yang dicari.
"Kamu polisi goblok. Kamu disuruh tangkap Si
Patai, tapi orang banci yang kamu
tangkap. Betul-betul goblok." kata
residen kepada komandan polisi yang salah tangkap.
Tuanku Laras yang dendamnya belum terbalas, menyuruh para Kepala Kampung membuat laporan
setiap pencurian atau perampokan
dilakukan oleh anak buah Si
Patai. Seorang Kepala Wijk (sama
dengan Lurah di kota sekarang) yang jadi iparnya disuruhnya pula membuat laporan yang sama. "Ada tidak ada
perampokan, pokoknya buat laporan."
katanya.
Residen naik pitam. Sehingga
sudah dua orang komandan polisi diganti,
namun perampokan tak kunjung terhenti
dan Si Patai tetap tak tertangkap. Maka tibalah suatu waktu, pemerintah mengeluarkan
peraturan wajib pajak
kepada rakyat. Kepala Kampung dan
Kepala Wijk ditugaskan memungutnya.
Rakyat tentu saja tidak suka
dan kata
mereka: "Kita tinggal di kampung halaman kita sendiri,
mengapa mesti membayar pajak
kepada Belanda yang bukan pemilik negeri ini?" kata mereka. Kata Tuanku Laras
mengancam Kepala Kampung, jika
tidak mampu memungut pajak,
akan dipecat. "Sulitlah itu.
Tuanku. Semua rakyat
sedang marah." kata mereka
yang terancam itu.
"Buat laporan, pajak yang
telah terkumpul dirampok anak buah Si Patai." kata Tuanku Laras pula.
Di Tiku rakyat bersenjata parang
menyerbu kantor polisi dan pos tentera. Di Lubuk Alung sejumlah laki-laki berpakaian
serba putih sambil
menyerukan "Allahu Akbar" menyerbu sepasukan tentera yang
sedang siap tembak. Hampir semua penyerbu mati dan terluka. Di
Batusangkar, ratusan perempuan dan anak-anak ikut berdemonstrasi
ke kantor kontelir. Tentera yang
mengawal melepaskan tembakan. Banyak
perempuan dan anak-anak mati dan terluka. Yang lain lari
puntang-panting. Tak seorang pun
penduduk yang menyangka bahwa tentera
itu akan sampai hati membunuh perempuan
dan anak-anak. Perlawanan rakyat Pauh mirip seperti perang gerilya. Jika
tentera berpatroli, rakyat seperti tidak
acuh saja. Yang di ladang terus bekerja.
Bila berpapasan di jalan,
mereka meletakkan ujung jarinya
seperti prajurit menghormat pada
perwira. Kalau jumlah yang
berpatroli sedikit, ketika hendak kembali ke Padang, mereka dihadang di pesawangan. Tapi yang paling
sering ialah mereka merampoki rumah orang-orang kota yang bekerja sama dengan
pemerintah di tengah malam.
"Kalau tentera tidak mampu,
kirim marsose 1), Tuan Besar. Padang tidak akan aman. kalau Si Patai tidak tertangkap, Tuan Besar." kata Tuanku Laras (sama dengan
camat sekarang) ketika menghadap residen setelah menyampaikan laporan para
Kepala Kampung di wilayahnya.
"Itu sudah aku pikirkan. Tapi itu bukan urusan kamu. Mengerti?" kata residen dengan suara keras karena merasa diajari oleh bawahannya.
Meski dikasari, hati Tuanku Laras
senang karena gagasannya menggunakan marsose untuk menangkap Si Patai tercapai.
***
Akhirnya keluar perintah dari Betawi, supaya
marsose dikerahkan menyerbu
pengacau di desa Pauh. Perintah itu diteruskan residen pada komandan tentera
dengan tambahan: "Kalau Si Patai
tidak berhasil kamu tangkap, itu
tandanya kamu komandan tidak becus. Aku
lapor ke Betawi. Tahu?"
Komandan tentera itu merasa
jabatannya terancam. Suatu malam, dibawah pimpinannya sendiri, sepasukan
marsose memasuki Pauh menjelang dini hari. Beberapa laki-laki yang dapat
disergap langsung dibunuh. Bagi komandan itu tidak penting artinya jiwa rakyat. Yang
terpenting hanyalah jabatannya sebagai komandan. Ketika pagi datang
mayat-mayat itu dikumpulkan di halaman mesjid. Seluruh penduduk disuruh
mengenali mayat tersebut. Beberapa orang
menunjukkan salah satu mayat
itu Ujang Patai namanya. Bukan
main leganya hati komandan itu. Lalu dia
memerintahkan kepala Ujang Patai
dipenggal untuk dibawa ke Padang sebagai bukti keberhasilan operasinya.
"Arak kepala itu keliling
kota. Biar rakyat kapok melawan pemerintah." kata residen kepada komandan
tentera itu.
Maka kepala yang terpenggal itu
ditusuk pada ujung tombak. Pasukan marsose yang tubuhnya dilumur cat hitam
mengarak penggalan kepala itu berkeliling
kota sambil menari dan berteriak-teriak
gembira, diiringi genderang yang dipalu
terus menerus. Semua rakyat keluar dari rumah masing-masing melihat
arak-arakan itu. Mana yang
merasa ngeri kembali lagi
tergesa-gesa masuk ke rumahnya. Ada perempuan yang jatuh pingsan demi melihatnya. Tapi Tuanku
Laras yang kenal dengan Si Patai dan tahu bahwa kepala itu bukan kepala
Si Patai, melapor kepada residen, bahwa
komandan tentera itu telah salah penggal.
"Biar saja. Pokoknya
perintah Betawi sudah dilaksanakan. Habis perkara. Orang di Betawi toh tidak akan
tahu mana Si Patai yang sebenarnya." kata residen.
"Tapi, Tuan Besar, apabila
Paduka Tuan Besar di Betawi tahu Si
Patai yang sesunggunya belum mati, celaka
kita." kata Tuanku Laras.
"Bukan kita. Tapi kamu yang
celaka." kata residen sambil menggebrak meja dengan kedua telapak
tangannya.
Oleh laporan yang dibuat residen ke Betawi, resmilah Si
Patai dinyatakan mati. Sedangkan tak
lama kemudian Tuanku Laras, yang
tahu persoalan yang sebenarnya, dipecat dengan
tuduhan penggelapan uang pajak. Tak lama
kemudian Tuanku Laras jatuh sakit. Kata orang sakit muno.
Sakit orang berkuasa yang kehilangan jabatannya secara
tiba-tiba. Sakit kehilangan harga diri.
Untuk menghindari desas-desus
salah bunuh itu, residen memerintahkan seluruh pegawainya, tidak lagi membicarakan tokoh yang bernama Si Patai. Sebuah koran
secara bersambung mengisahkan
suksesnya operasi tentera
menumpas gerombolan Si Patai.
Sehingga lambat laun rakyat di kota
pun percaya, bahwa penggalan kepala yang
diarak berkeliling itu, betul-betul kepala Si Patai.
Sebaliknya rakyat yang membenci Belanda menganggap bahwa kepala yang
terpenggal itu, kepala seorang pahlawan bangsa.
***
Namun kisah Si Patai yang
sebenarnya, benar-benar berlain. Hasil
penelitian calon sarjana itu berkesimpulan seperti yang ditulisnya dalam
skripsinya.
Bahwa demi melihat begitu banyak
korban, anak-anak jadi yatim dan perempuan menjadi janda, para penghulu
desa Pauh minta kepada Si Patai agar meninggalkan kampung untuk
sementara. Sampai situasi aman. Karena menurut para penghulu itu, melawan pemerintah yang
bersenjata kuat, hanyalah akan menambah
kesengsaraan rakyat. Konon Si Patai
menyingkir ke Teluk Kuantan. Dari
sana dia menyeberang ke Semenanjung, yang kini bernama
Malaysia.
Namun dendam rakyat yang
keluarganya terbunuh, isteri-isteri yang kehilangan suami, anak-anak yang
kehilangan ayah, tidak hilang sama sekali oleh kekejaman operasi tentera
yang mereka alami itu. Dua puluh tahun kemudian, generasi yang lain melakukan pemberontakan
lagi. Berbaringan dengan pemberontakan komunis tahun 1926. Namun mereka pun masih dikalahkan. Dua puluh tahun pula
setelah itu kembali rakyat melawan.
Perlawanan yang terakhir ini dalam
rangkaian perang kemerdekaan bangsa Indonesia yang tercinta.
Kemudian anak muda yang telah
jadi sarjana itu bertanya kepada Si
Dali. "Yang jelas kisah sejarah itu dipalsukan, pak. Bagaimana
meluruskannya?"
Lama Si Dali termangu-mangu.
Akhirnya katanya: "Palsu
tidaknya sejarah lama, tidak akan
merobah dunia sekarang dan nanti."
Kayutanam, 6 September 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar