Pahlawan Tersisa di Makam Tua
Cerpen
Danang Probotanoyo (Republika, 11 November 2012
SENJA temaram menjemput malam. Kumaidi duduk di kursi rotan
tua yang nyaris berbentuk bulat mirip telur ayam. Kursi dan meja pasangannya
tersebut pemberian Pak Sudjono (almarhum), bekas komandan peleton di PETA
tempat Kumaidi bergabung dulu.
Kursi
itu masih kokoh walau pliturannya nyaris tak berbekas. Hanya meja nakas
pasangannya yang sudah kelihatan reyot. Itu pun diusahakan Kumaidi agar bisa
lebih lama lagi masa pakainya dengan diperkuat beberapa paku pada siku-sikunya.
Kursi dan meja itu dikirim sendiri oleh Pak Sudjono pada tahun 1978 sebagai
hadiah sekaligus bentuk solidaritasnya terhadap kekurangberuntungan nasib
Kumaidi, sebagai sesama ekspejuang kemerdekaan. Pak Sudjono sendiri mengakhiri
pengabdiannya kepada republik sebagai pensiunan di pabrik gula terbesar di kota
mereka. Kondisi kontras dialami Kumaidi yang hingga sekarang masih terus
berjuang, berjuang dan berjuang. Bedanya hanya pada medannya. Pada dekade 40-an,
Kumaidi berjuang di medan perang demi eksistensi republik. Setelah kemerdekaan
hingga sekarang, perjuangan Kumaidi di medan kehidupan riil sehari-hari demi
eksistensi perutnya dan perut Sutinah, istrinya.
Sedikit
gemetaran—khas orang lanjut usia—kedua telapak tangan keriput Kumaidi
perlahan-lahan memilin klobot yang
di dalamnya menyembul tembakau. Setelah tergulung ala kadarnya, diambilnya
korek gas murahan untuk menyulut. Sekejab Kumaidi pun larut dalam kepekatan
asap dan bau “rokok klobot” yang menyengat bagai dupa yang biasa ditemui di
makam-makam tua di Jawa. Sesekali tangan kanannya meraih gelas berisi kopi
pahit pekat sebagai selingan dalam ritual rutinnya setiap senja. Sruput,
ah, nikmatnya.
“Pak,
akan ke mana kita esok hari, kalau para petugas tramtib dan kecamatan itu
datang melakukan eksekusi.”
Suara
Sutinah membuyarkan keheningan dan keasyikan Kumaidi, ketika secara tiba-tiba
sosok perempuan tua itu menyeruak dari dalam rumah ke teras, tempat Kumaidi
bersemayam. Kumaidi menyedot klobotnya lebih dalam menyebabkan pipinya
bertambah kempot. Sambil menghela napas panjang, Kumaidi berujar, “Entahlah Bu,
aku sendiri belum tahu.” Sruput,
kopi yang tinggal separo pun dimasukkan sedikit ke tenggorokan.
“Anak,
kita tak punya, saudara-saudara pun sudah pada tiada di kampung halaman,” ujar
Kumaidi lirih dan sendu. Masih membekas di pikirannya kedatangan Pak Lurah
pukul setengah empat sore tadi.
“Saya
hanya bertugas menyampaikan surat pemberitahuan eksekusi kepada Pak Kum. Saya
tidak bisa berbuat apa-apa, Pak, karena pemerintah maunya begitu,” ujar Pak
Lurah dengan sedikit tercekat, ketika menyampaikan surat eksekusi tanah dan
rumah Kumaidi. Kedatangan Pak Lurah sore itu sudah untuk yang keempat kalinya
selama jangka waktu tiga bulan belakangan.
“Kalau
untuk mempertahankan negeri ini dari cengkeraman Belanda dan Nipon aku bisa
habis-habisan, sampai jiwa dan raga aku pertaruhkan,” ujar Kumaidi getir,
sambil mengepalkan tangan dan memukulkannya pelan ke paha.
“Kan, nggak lucu
kalau aku harus mengangkat bambu runcing untuk mempertahankan secuil tanah dan
gubug reot ini, padahal jelas-jelas ini tanah negara.”
“Apalagi
uang tali asih sebesar setengah juta telah kita terima sebulan lalu dan itu pun
telah habis buat nebus sepeda
onthelku di pegadaian demi ngobati bronkitismu.”
“Yang
penting kita sudah selesai mengepak milik kita, jangan sampai ada yang
tertinggal.”
“Bintang
gerilya dan SK veteranku jangan sampai keselip, Bu. Itu satu-satunya kebanggaan milik kita,
sekaligus penyambung hidup kita.”
“O,
ya, Pak, apakah tunjangan veteran bulan ini telah kamu ambil di bank?” tanya
Sutinah.
“Ini
simpan, tadi cuma aku kurangi buat beli mbako dan segelas es cincau di jalan, panas amat siang tadi,
aku sampai seperti mau pingsan ngayuh sepeda.”
***
Tanpa
terasa malam menggulung waktu. Namun, Kumaidi belum juga beranjak tidur. Lagi
pula dalam kondisi dan situasi seperti yang sedang ia alami, apalah nikmatnya
tidur apalagi leyeh-leyehmenikmati
siaran televisi merek Grundig 14 inchi miliknya. Toh, TV tua itu telah dibungkus
seprei oleh Sutinah dan dionggokkan di samping rumah beserta harta benda dekil
lainnya. Kumaidi mondar-mandir di depan rumahnya. Dalam hitungan beberapa jam
ke depan bakal diratakan dengan tanah oleh pihak berwenang lantaran berdiri di
areal yang konon milik negara dan akan dijadikan “Jalur Hijau”. Itulah yang
sering dilontarkan Pak Camat.
Sesekali
ia berjalan di bekas reruntuhan rumah para tetangga yang telah mereka
tinggalkan sebulan lalu. Ada yang terpaksa pulang ke desa tempat asal mereka.
Ada yang mencari kontrakan di gang-gang kumuh seputaran kota. Ada juga yang
nekat pindah ke pinggir rel kereta api dan kolong jembatan layang. Sekarang di
areal tersebut tersisa satu rumah reyot milik Kumaidi. Setelah mondar-mandir
melihat situasi, Kumaidi pun duduk di atas dipan kayu tua di bawah Pohon Waru,
di depan bekas rumah Mat Jumali, pedagang sate keliling. Dipan itu tidak dibawa
yang empunya karena kondisinya memang rusak. Sewaktu tetangganya masih komplet
tinggal di lingkungan tersebut, dipan itu difungsikan untuk sosialisasi dan
bercengkrama antartetangga di waktu sore hingga malam.
Sambil
matanya nanar menatap hilir mudik kendaraan di kejauhan, tangan tuanya memegang
rokok klobot kegemarannya. Tampak percikan api di kegelapan menyerupai
kunang-kunang setiap Kumaidi menyedot klobotnya. Kriet…. Sejurus kemudian
Kumaidi turun dari dipan. Kakinya meraba-raba tanah mencari sandal plastik
merek Lily miliknya. Maklum, tempat itu gelap gulita karena sudah sebulan
aliran listrik di daerah itu diputus. Listrik di rumah Kumaidi masih bisa
menyala karena kreativitas seorang mantan tetangganya yang “nyanthol” kabel PLN
di pinggir jalan, tak jauh dari pemukiman Kumaidi. Si tetangga kasihan lantaran
melihat pasangan lansia tersebut tinggal di situ sendirian tanpa penerangan
sama sekali.
Pelan-pelan
Kumaidi membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Dilihatnya dengan penuh
rasa sayang dan iba sang istri tengah pulas tidur di atas tikar tanpa dipan dan
kasur. Pelan-pelan sepeda onthel tuanya dikeluarkan. Tanpa membangunkan sang
istri, Kumaidi pun berlalu. Empat puluh menit mengayuh sepeda sampailah dia di
pemakaman tua. Pemakaman itu tampak terawat dan berlampu neon di sana-sini.
Pohon Kamboja dan Sri Rejeki menyemarakkan kuburan tersebut. Ya, pemakaman asri
tersebut adalah Taman Makam Pahlawan tempat bersemayamnya jasad para kolega
Kumaidi, termasuk Pak Sudjono mantan komandan peletonnya di PETA.
Dengan
hati-hati Kumaidi menyandarkan sepeda tuanya di pintu masuk makam yang terbuat
dari besi. Kakinya melangkah. Sesekali ia berdiri tegak semampunya sambil
menyilangkan telapak tangan memberi hormat ke arah beberapa batu nisan. Dia
berhenti dan duduk bersila di atas rerumputan makam dan tafakur di depan batu
nisan Pak Sudjono. Sambil melelehkan air mata, ia terlihat komat-kamit seolah
mengadu kepada mantan komandannya tersebut. Setengah jam kemudian, matanya
melihat ke arah pojok makam tak jauh dari tempatnya bersila. Ada sinar harapan
merona di wajah sepuhnya. Kumaidi melihat arloji di bawah keremangan lampu neon
makam, dia pun bergegas meninggalkan makam tersebut.
“Ah,
untung masih jam setengah dua belas malam, masih cukup waktu,” katanya dalam
hati penuh kemisteriusan.
***
Pukul
setengah lima pagi, Sutinah dibangunkan.
“Ayo,
Bu, lekas kita berkemas untuk pindahan. Aku tak ingin nantinya kita yang diusir
petugas dari tempat ini. Aku tidak ingin anak-anak muda tersebut menghardik
kita.”
“Tapi,
kita mau ke mana, Pak? Apalagi sepagi ini.”
“Sudah,
ikuti saja perintahku, tolong kau bantu angkat kardus besar ini ke atas
boncengan sepeda. Dua buntalan taplak meja berisi barang-barang yang tak
terlalu berat, nanti kamu tenteng di kanan-kiri. Aku nanti yang menuntun sepeda
dengan kardus besar ini.”
Sutinah
pun menuruti kemauan sang suami.
“Lho,
kemana barang-barang yang lain, Pak? Kemana kayu-kayu tua, gedhek tua dan
selembar tipleks yang kemarin sudah kita persiapkan di samping rumah.”
“Semalam
semuanya telah aku pidahkan ke calon tempat kita yang baru.”
“Hah,
sendirian kamu pindahkan semuanya?”
“Ya,
pada siapa lagi mesti minta bantuan, lagian kan aku tinggal nuntun si onthel,
dialah yang mengangkut semuanya.”
Sutinah
pun penuh tanda tanya besar dalam benaknya, perihal ke mana dia akan diajak
pindah oleh Kumaidi.
“Ayo,
lekas kita jalan, mumpung belum bayak orang yang melihat.”
Sepasang
lansia tangguh itupun berjalan perlahan secara beriringin. Kumaidi di depan
sambil menuntun sepeda yang telah dibebani kardus besar, sedang Sutinah
mengiringi di belakangnya sambil menenteng dua buntalan di kanan-kiri.
Satu
setengah jam, sampailah mereka di tempat yang dituju.
“Ayo,
masuk Bu, nggak usah bengong, kan sudah seringkali aku mengajakmu ke mari.”
“Tapi,
ini kan makam, Pak, tempat Pak Sudjono, Pak Waluyo, Pak Hadi dan teman-teman
seperjuangan bapak lainnya dimakamkan.”
“Iya,
ini satu-satunya tempat yang disediakan pemerintah untuk menghargai kita-kita
yang dulu telah berjasa mengusir penjajah dari republik. Memang, ini disediakan
untuk kita setelah tak ada umur alias wafat, tapi apa salahnya jika kita
menyesuaikan diri dulu di sini barang sebentar, sampai ajal menjemput.”
Mata
tua Sutinah mulai meneteskan air mata, disekanya satu persatu buliran air
matanya dengan ujung kebaya lusuhnya.
“Sudah,
Bu, kita terima saja, apa yang diberikan negeri ini kepada kita, tak ada
faedahnya kita menyumpahi terus anak-anak muda yang tak tahu balas budi atas
pengorbanan kita dulu. Mereka sudah hidup di alam merdeka berhak untuk
menikmatinya, kita ikhlas saja.”
“Di
sebelah mana kita nantinya akan tinggal, Pak?”
“Itu,
di sebelah pojok, utara nisan Pak Sudjono, kayu-kayu, tripleks, gedhek dan
barang-barang lainnya telah aku taruh di sana. Nanti kita tinggal merakitnya
jadi gubug sederhana. Tempatnya lumayan lapang. Ada kalau cuma tiga kali empat
meter, tempatnya pun strategis karena dua sisinya sudah ada tembok pagar
makam.”
“Tapi,
Pak, apakah nantinya kita tak di usir lagi dari sini.”
“Ini
hak kita, Bu, mau kita ambil sekarang apa nanti tak ada bedanya bagi orang
lain, lagian teman-teman di sini sangat mendukung dan sangat senang
menerima kita sekarang.”
“Siapa
yang kau maksudkan teman-teman di sini, Pak?”
“Pak
Sudjono cs-lah!” jawab Kumaidi tanpa beban.
“Tapi,
pak….”
“Aku,
tahu mereka sudah terbujur kaku di sini. Semalam, waktu akunyekar mereka dan mengadukan nasib kita, karena kelelahan aku
tertidur sejenak dengan memeluk nisan Pak Sudjono. Dalam tidur sekejab itu aku
bermimpi bertemu Pak Sudjono dan yang lainnya. Mereka sangat senang bertemu
aku, dan menyuruh aku untuk tinggal di sini. Bahkan, mereka berjanji kepadaku
tak akan rela bila ada yang berani mengusik kita di sini.”
Sepasang
lansia itu pun menangis sesenggukan sambil berpelukan erat satu sama lain. (*)
Catatan
:
Klobot
: Kulit Jagung kering
Nyekar
: Tabur bunga ke makam