Sabtu, 30 Maret 2013

Telepon dari Aceh - Seno Gumira Ajidarma

Telepon dari Aceh  

                               Seno Gumira Ajidarma


SEORANG koruptor zaman Orde Baru yang luput dari pengawasan Indonesian Corruption Watch duduk menghadapi meja makan. Di sana ia mengumpulkan istri dan anak-anaknya, dan sambil makan mulai bicara.
“Bapak sungguh-sungguh bersyukur, sampai hari ini Bapak masih selamat. Barangkali memang tidak mungkin menyapu seluruh koruptor yang ada di Indonesia. Koruptor nomor satu atau nomor dua memang tinggal ditunjuk, karena kekayaannya yang tidak bisa disembunyikan, meski juga tidak bisa dijadikan bukti, tetapi bagaimana dengan koruptor nomor dua ratus atau tiga ratus? Sedang Bapak saja, yang bisa korupsi sekitar Rp 200 milyar, ranking-nya cuma nomor 11.217. Pasti susah ‘kan, mencabut yang nomor 11.217 dari ratusan ribu koruptor? Jadi, barangkali untuk sementara kalian bisa tenang. Masih banyak koruptor kelas kakap yang hasil korupsinya tidak masuk akal, karena memang tidak terhitung. Bapak ini masih kelas teri. Cuma Rp 200 milyar. Masih bisa dihitung. Tenang sajalah. Lagipula Bapak ‘kan korupsi untuk kebaikan kalian semua. Supaya kalian anak-anak bisa sekolah di luar negeri, bisa punya rumah mewah, mobilnya tidak cuma satu, dan punya tabungan yang bunganya cukup untuk hidup sambil ongkang-ongkang kaki. Ya nggak? Bapak ini jelek-jelek tidak korupsi untuk diri sendiri, tetapi untuk keluarga. Demi kehormatan, kebesaran, dan keselamatan keluarga. Makanya kalian semua sekolah yang bener. Selesaikan pendidikan dengan sekolah di luar negeri, mumpung masyarakat Indonesia masih silau dengan gelar-gelar dari luar negeri. Perkara ijazahnya bisa beli, ya beli sajalah, untuk apa capai-capai berpikir? Lebih baik kalian pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kekayaan hasil korupsi Bapak. Pikirkan bagaimana caranya memutihkan tabungan, bagaimana caranya menghindar kalau disidik, dan cari orang-orang yang bersedia melindungi kita. Bayar saja sedikit. Kasih perempuan. Lantas diperas. Mereka tidak mungkin bicara. Uanglah yang akan bicara. Bagi rata kekayaan antara kita semua. Jangan rebutan. Itu sumber perkara. Hati-hati dengan kekuasaan. Jangan silau dengan politik. Itu hanya akan membuat kamu jadi singa. Biasanya singa akan mati diterkam singa lain. Lebih baik kamu jadi tikus seperti Bapak. Tidak usah hebat-hebat punya nama besar, pokoknya korupsi jalan terus. Kalau kalian punya jabatan di pemerintahan, meskipun tidak tinggi, kalau punya otak korupsi, bisa menjalankan korupsi dengan sistematis. Tidak usah banyak-banyak. Nanti terlalu kentara. Yang penting secara sistematis jalan terus. Seperti Bapak sekarang, menjelang pensiun sudah korupsi sampai Rp 200 milyar. Yah, memang tidak trilyun-trilyunan, tetapi kita tidak usah terlalu rakus. Kasihan rakyat kecil. Kalau semua koruptor korupsinya sampai trilyun-trilyunan, nanti rakyat kecil makan apa? Jangan-jangan sebutir beras pun tidak kebagian. Korupsi itu secukupnya sajalah. Asal cukup untuk istri dan anak-cucu. Nanti cucu-cucu kalian tidak usah korupsi lagi, karena sudah punya modal untuk berdagang seperti orang baik-baik. Meskipun modalnya hasil korupsi, tetapi generasi penerus kita bisa menjadi orang suci. Mereka tidak salah, ‘kan bukan mereka yang korupsi, tetapi Bapak. Biarlah Bapak menjadi tumbal, biarlah Bapak menanggung dosa dan masuk neraka, yang penting anak cucu Bapak menjadi orang-orang yang mulia.”
Koruptor itu bicara sambil makan. Istrinya mendengar juga sambil makan. Anak-anaknya makan sebanyak mungkin, entah mendengar entah tidak. Yang jelas mereka berkomentar tentang makanan.
 ”Enak juga lidah sapi ini.”
 ”Nyam-nyam.”
 ”Makanan hasil korupsi kok tetap enak ya?”
 ”Huss! Kalau tidak enak, untuk apa korupsi?
 ”O hiya ya? Aduh opor brutu! Nyam-nyam!”
 ”Aduh, hmmm, gulai kepala ikan bumbu Aceh! Sedap!”
 ”Ibu yang masak itu, satu-satunya sisa kepandaian warisan nenek moyang.”
 ”Nyam-nyam.”
 ”Nyam nyam.
 ”Nyam nyam.”
 Bapak, Ibu, enam anak, dan tiga cucu, makan dengan lahap di meja kayu jati tanpa sambungan yang mahal. Empat pembokat berdiri di empat sudut ruang dengan serbet di bahu, siap melayani tanpa diperintah, harus tahu sendiri apa yang mesti dilakukan berdasarkan pengabdian bertahun-tahun.
 Di meja makan bertumpuk segala macam makanan yang serba berminyak, sehingga berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu kristal yang gemerincing dari Italia.
 Lampu kristal itu gemerincing karena angin.
 ”Kencang juga angin ini, sampai bisa masuk rumah kukuh begini.”
 ”Bapak, di luar hujan deras.”
 ”Sudahlah, apa soalnya dengan hujan? Ayo makan!”
Sendok dan garpu berdenting-denting menimpa piring. Di luar hujan deras sungguh kelabu. Dari Jakarta sampai Aceh.

***

 SEBUAH tangan menyembul dari balik tanah. Mula-mula hanya telapak tangannya, tetapi hujan deras lantas menyisihkan tanah, sehingga seluruh lengannya muncul.
 ”Ada tangan.”
 ”Apa?”
 ”Tangan.”
 Tanah becek itu sebentar-sebentar berkilat. Dalam hujan deras yang penuh dengan guntur dan halilintar, orang-orang akhirnya menemukan tempat itu.
 ”Ini arah yang ditunjuk anak gembala itu?”
 ”Iya, jejak roda truk itu menuju ke sini.”
 ”Ayo gali! Cepat!”
Orang-orang menggali tanpa kata. Hanya terdengar suara pacul dan sekop menyendok tanah di tengah suara hujan dan angin yang hingar-bingar. Suara air hujan yang menghempas ke daun-daun pohon pisang, suara ranting-ranting yang berdesau miring tertiup angin, dan suara-suara angin itu sendiri yang menampar-namparkan hujan ke wajah mereka yang basah. Guntur dan halilintar meledak-ledak sebentar-sebentar menerangi langit. Setiap kali langit menjadi terang, orang-orang yang mencangkul dan menyekop itu sekilas berpandangan. Wajah mereka basah oleh air hujan maupun air mata. Tiada seorang pun dari mereka merasa betapa angin sebenarnya begitu dingin.
Mayat-mayat muncul dari dalam tanah seperti kenyataan. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh. Sebagian bisa dikenali. Sebagian tidak. Semuanya mendapat luka tembak.
***
“ADUH, Bapak menyedot otak dari kepala ikan begitu amat!”
 ”Aku tak pernah mau menyisakan gulai kepala ikan bikinan ibumu.”
 Bapak menyedot lagi. Suara hirupannya bagaikan sedotan kilang-kilang minyak yang menembus lautan bergelora. Tuntas dengan kepala ikan, Bapak menyedot sumsum tulang sapi. Usai dengan sumsum tulang sapi, disikatnya pula sumsum tulang kambing. Terakhir disedotnya sumsum tulang ayam.
 Satu keluarga bersendawa bersama-sama.
 ”Hoooiikkk!”
Itulah kode bagi empat pembokat untuk bekerja cepat. Meja yang semula bagaikan ladang pembantaian penuh tulang-tulang berserakan, kulit udang dan kepiting bertebaran, tusuk-tusuk sate, bungkus-bungkus daun ikan pepes, dan piring-piring kosong segera menjadi bersih.
 Empat pembokat datang kembali dengan puding karamel.
 ”Waw! Karamel!” Cucu-cucu yang serba gendut berteriak.
 Bapak langsung nyosor. Sroooggg…
 Di luar hujan tidak kunjung reda. Hampir saja dering telepon itu tidak terdengar. Seorang pembokat membawa gagang tanpa kabel itu kepada Ibu.
 ”Interlokal dari Aceh,” kata pembokat.
 Ibu yang masih kekenyangan menerima telepon. Di telepon pun ia masih sempat bersendawa. “Hooiikkk!” Tetapi kemudian wajahnya menjadi tegang. Ia berdiri, menjauh dari meja makan.
 ”Ya, ya, ya. Besok pagi saya ke sana.”
 Kemudian ia meletakkan telepon. Membalikkan badan ke meja makan.
 ”Ahmad ditemukan,” katanya.

***
MALAM itu Ibu tidak ikut berkumpul di depan TV yang layarnya seluas layar bioskop. Di dalam kamarnya yang besar dan mewah dengan jendela-jendela raksasa bertirai impor, cermin mukibat, peraduan raja-raja, dan bau setanggi dari India, lbu duduk tepekur. Di depan cermin tempatnya biasa berhias terdapat foto keluarga bersama ayah dan ibunya. Foto itu dibuat di Banda Aceh. Ia yang paling dewasa dari tujuh bersaudara duduk paling kanan. Ahmad, yang paling bungsu, dipangku ibunya.
“Mana Ibu?” kata Bapak.
“Di kamar, menangis,” jawab putrinya yang bungsu.
 Bapak tertegun sebentar, tetapi tampak malas bergerak.
 ”Ah, nanti juga sedihnya hilang,” pikirnya.
 Sementara itu hujan semakin deras. Cucu-cucu yang suka bermain di teras yang seperti amphiteater Yunani itu berlari ke dalam.
 ”Kakek! Kakek! Di luar hujan darah!”
 ”Ah, yang bener, kalian kekenyangan barangkali.”
 Namun anak-anaknya menimpali.
 ”Hujan darah? Jadi benar kata ramalan cuaca!”
 Bapak menjadi bingung.
 ”Apa kata ramalan cuaca?”
 ”Hari ini ada hujan darah dari Aceh.”
 Telepon berdering lagi. Bapak berpikir cepat.
 ”Cepat terima itu! Kalau ada yang mati lagi di Aceh, jangan kasih tahu Ibu! Aku capek melihat dia menangis!”
Jakarta, Selasa 3 Agustus 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar