Rabu, 20 Maret 2013
(Tajuk Rencana Kompas)
"Izin Sadap" dalam KUHAP
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin telah menyampaikan dua draf RUU, yakni RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kepada DPR, Rabu (6/3).
Langkah mereformasi KUHAP dan KUHP kita hargai. UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang sering diklaim sebagai karya agung bangsa Indonesia saatnya direvisi. KUHAP yang sudah berusia 32 tahun itu harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Lebih lagi, KUHP itu merupakan peninggalan kolonial. Draf KUHP sudah disiapkan lama dan menjadi obsesi setiap menteri kehakiman.
Revisi KUHAP mengadopsi sejumlah hal progresif. Gagasan justice collaborator yang belakangan sering diwacanakan diadopsi dalam pendefinisian ulang soal saksi mahkota. Konsep plea bargaining yang lebih banyak dikenal dalam sistem common law juga diadopsi dalam pasal yang mengatur pemeriksaan jalur khusus.
Beberapa hal baru coba diadopsi RUU KUHAP, seperti hakim pemeriksa pendahuluan, hakim pengawas, dan saksi mahkota. Karena itulah, ruang perdebatan publik harus dibuka seluas mungkin,
termasuk soal penyadapan yang sebenarnya juga diatur dalam Rancangan KUHP.
Secara prinsip, RUU KUHAP melarang penyadapan. Penyadapan hanya bisa dilakukan untuk 20 tindak pidana yang dirumuskan secara limitatif. Proses menyadap dipersulit karena harus mendapatkan izin dari hakim pemeriksa pendahuluan, sebuah lembaga baru.
Regulasi soal penyadapan inilah yang memunculkan resistensi, termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik mengetahui, melalui penyadapan sejumlah skandal korupsi terungkap. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan merupakan pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya harus dihadapi dengan cara yang luar biasa pula.
Dalam naskah akademis RUU KUHAP ditegaskan soal penyadapan. Kita kutip naskah akademis itu. "Penyadapan pun dilakukan dengan perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat izin hakim komisaris. Dengan demikian, tidak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin hakim komisaris".
Sayang, KPK tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU KUHAP sebagaimana terungkap dalam pernyataan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dan Adnan Pandu Praja. "Izin sadap" bisa dibaca sebagai upaya melemahkan KPK yang memang telah beberapa kali coba dilakukan.
Dalam situasi perang terhadap korupsi, pemerintah seyogianya memperkuat sikap politiknya untuk memperkuat KPK. Segala upaya melemahkan KPK, termasuk melalui "izin sadap", seyogianya dipikirkan lebih jauh karena korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang bisa membangkrutkan negara.
(Tajuk Rencana, Kompas, 21 Maret 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar